Hak Hidup dan Hukuman Mati
Oleh:Hendardi
Kasus yang dialami Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu yang didakwa dalam perkara kerusuhan Poso, telah dijatuhi hukuman mati melalui pengadilan yang sejak awal mengundang kontroversi mengenai keterlibatan ketiganya dalam peristiwa yang didakwakan tersebut.
Pertama, mereka kini tinggal menunggu eksekusi setelah pengadilan telah menjatuhkan hukuman mati. Kedua, pengacara terdakwa telah membawa bukti baru dalam peninjauan kembali (PK) yang menyangkal keterlibatan terdakwa. Ketiga, terlepas dari apa pun kesalahan yang dapat dibuktikan, hukuman mati bertentangan dengan hak-hak asasi manusia. Penting untuk dipersoalkan mengenai hukuman mati yang masih diberlakukan dalam penegakan hukum di Indonesia. Kasus Tibo dan kawan-kawan adalah yang paling mutakhir dimana pengadilan telah memutuskan hukuman mati.
Terlepas dari apakah mereka sebagai terdakwa telah dibuktikan bersalah atau tidak, sejumlah kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hak-hak asasi manusia, perempuan dan warga lainnya yang bersimpati, telah mengeluarkan pernyataan dan kampanye untuk menentang hukuman mati.
Jika kita berpegang pada prinsip dan norma hak-hak asasi manusia, hukuman mati memang harus ditolak atau dihapuskan, karena ia bertentangan dengan prinsip dan norma tersebut. Apa yang disuarakan kalangan LSM dan warga sipil itu, sangatlah tepat. Betapapun beratnya tindak pidana yang didakwakan atas seseorang, seharusnya hukuman mati diakhiri.
Bagaimana hal itu mesti dijelaskan? Pertama, negara bukan saja harus menghormati dan melindungi hak untuk hidup (the right to life), tapi juga menjamin pelaksanaan penegakan hukum yang tak merengut hak tersebut. Negara harus menjamin hak setiap orang untuk hidup tanpa merenggutnya dalam penegakan hukum pidana.
Kedua, dalam prinsip hak-hak asasi manusia, hak untuk hidup adalah hak yang tak terenggutkan (non-derogable right), tak boleh dicabut dalam keadaan apa pun. Pencabutan hak ini tidak diperkenankan bukan saja dalam keadaan perang, apalagi dalam keadaan damai.
Ketiga, hak untuk hidup adalah hak yang melekat di dalam diri (right in itself) setiap orang. Hidup menyatu dengan tubuh manusia atau setiap orang. Merenggutnya berarti mengakhiri hidup seseorang. Pada titik yang mengerikan inilah hidup seseorang sebagai manusia berakhir.
Keempat, hak untuk hidup paling ditekankan untuk dihormati dan dilindungi oleh semua Negara sebagaimana terkandung dalam Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi RI. Hak ini juga dilindungi dalam Pasal 28A UUD 1945 serta Pasal 4 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Penghormatan dan perlindungan bukan saja bersumber dari prinsip dan norma hak-hak asasi manusia internasional, tapi juga telah menjadi bagian dari ketentuan hukum nasional. Negara berkewajiban melindungi dan menjamin setiap orang agar dapat menikmati hak untuk hidup.
Hukuman Mati
Dalam kasus yang dialami Tibo dan kawan-kawan mencerminkan kehendak aparat yang berwenang untuk menggunakan pidana mati dalam menangani perkara kejahatan. Langkah ini tampaknya berlawanan dengan kecenderungan internasional yang hendak menghapuskan atau mengurangi jumlah kasus kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati.
alam Protokol Opsional II Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik jelas menyerukan semua negara yang belum meratifikasinya untuk menghapuskan hukuman mati. Penghapusan ini dipandang dapat meningkatkan martabat dan pengembangan hak-hak asasi manusia secara progresif.
Selain kasus Tibo dan kawan- kawan, pidana mati juga dapat dijatuhkan pada pelaku kejahatan yang bertalian dengan pembunuhan, kejahatan menentang keamanan Negara, kejahatan terhadap kemanusiaan, serta narkoba. Belakangan bertambah penggunaan pidana mati yang terkait dengan kejahatan terorisme. Seruan untuk menjatuhkan pidana mati juga sempat dilontarkan dalam kasus penebangan kayu illegal dan korupsi.
Mereka yang menaruh kepedulian atas hak-hak asasi manusia berpandangan bahwa kewenangan mencabut hak untuk hidup dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights). Karena merenggut salah satu hak yang tak boleh ditangguhkan pemenuhan. Tindakan ini menebas hidup yang hanya dalam diri seseorang yang tak pernah bias tersembuhkan atau tergantikan.
Hukuman mati persis menunjukkan adanya kewenangan mencabut hak untuk hidup. Pidana mati dianggap sebagai hukuman yang kejam, tak berperikemanusiaan serta menghina martabat manusia. Hukuman ini jelas melanggar hak untuk hidup. Eksekusi mati memang pelanggaran serius oleh negara betapa pun seriusnya perbuatan pidana yang dilakukan seseorang.
Jika UUD dan UU HAM melindungi hak untuk hidup bagi setiap orang, seharusnya UU lainnya mematuhi perintah yang terdapat di dalamnya. Tapi persoalannya justru masih banyak ketentuan pidana yang tidak konsisten atau bertentangan dengan UUD dan UU HAM tersebut. Bahkan ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik sama tak konsistennya dengan ketentuan pidana mati.
Dalam sistem peradilan pidana, penerapan hukuman mati dapat berbuah kegagalan yang tak mungkin diperbaiki. Kekhawatiran ini ditambah lagi dengan masalah "mafia peradilan" dan kelemahan lainnya yang masih melekat dalam sistem peradilan di Indonesia. Ini berarti kegagalannya dalam memenuhi standar internasional sebagai peradilan yang jujur dan independen.
Sejumlah kasus dalam peradilan pidana, persoalan yang dihadapi terdakwa adalah akses pada pengacara. Bagi warga asing, menghadapi kesulitan akses untuk mendapatkan penerjemah. Selain itu, telah menjadi kebiasaan dan praktek penyiksaan atas tersangka dan terdakwa yang bertentangan dengan UU No 5/1998 Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Hukuman atau Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.
Dengan menyimak masih adanya ketentuan pidana mati dan kelemahan sitem peradilan, setiap orang yang dijatuhi hukuman mati perlu mengajukan grasi kepada presiden. Ketika grasi diajukan sudah seharusnya aparat yang berwenang menunda eksekusi sampai presiden memutuskan apakah memberikan grasi atau tidak.
Penulis Adalah Ketua Majelis Anggota PBHI dan Pendiri Setara Institute