Konsep Trinitas
Oleh K.A.M. Jusufroni
Doktrin Trinitas merupakan doktrin gereja yang sangat kontroversial sepanjang sejarah, bahkan sejak awal diperkenalkannya doktrin tersebut. Para sarjana Kristen Barat mengklaim doktrin tersebut berasal dari Gereja Yudeo-Kristen. Benarkah demikian? Berikut uraian historisnya.
1. Kaum apologis dari gereja mula-mula, mereka menyatukan konsepsi Yunani tentang Logos dengan "Logos" menurut Injil Yohanes
1.1 Yustinus Martyr, seorang apologet di abad kedua[1], yang menampilkan Kristus sebagai "Tuhan yang lain" menciptakan masalahnya sendiri
1.2 Yustinus lahir dalam keluarga Yunani di Palestina, mengikuti filsuf Stoa, kemudian mengikuti aliran Aristoteles, pernah mengikuti pengikut Pythagoras, mengikuti juga pengikut Platonisme, kemudian baru menjadi seorang Kristen. Karya-karyanya adalah: Dialog dengan Trypho, Apologia I, Apologia II.
2. Muncul "Monarkianisme", bertujuan memelihara monoteisme dalam Kristen. Titik persoalan dasar adalah menyangkut hubungan Bapa dan Anak satu sama lain
2.1 Menurut kaum Monarkianisme, memahami keilahian Anak hanya sekedar mode atau cara penampilan Bapa
2.1.1 Monarkianisme dinamis mengatakan "maka suatu kuasa ilahi yang tidak bersifat pribadi giat dalam seorang manusia yang bernama Yesus. Sesudah itu Kristus diangkat menjadi Anak Allah
2.1.2 Aliran ini sekitar abad kedua sampai abad ketiga
2.1.3 Aliran ini mirip "konsep adopsionis", yang jauh lebih tua dalam gereja purba
2.2 Monarkianisme modalistis menganut pandangan bahwa Allah adalah Pribadi yang tunggal. Anak dan Roh Kudus hanyalah sekedar mode-mode atau cara-cara penampilan Allah yang tunggal itu
2.3 Kaum monarkianisme yang nampaknya monoteisme tanpa Trinitas melihat Yesus setengah Allah dengan mengatakan sesudah baptisan-Nya atau sesudah kebangkitan-Nya.
3. Kaum Gnostisisme, berkembang dalam abad kedua, juga mempengaruhi pembentukan ajaran gereja mengenai Trinitas, kaum ini tidak mengembangkan ajaran Trinitas, yang mereka lakukan adalah mencakup Allah Bapa, Allah Anak, dan Roh Kudus di antara aeon-aeon mereka yang banyak.[2]
3.1 Mereka percaya kepada satu Allah Yang Mahatinggi, jauh dari dunia ini. Ia tidak turut serta dalam penciptaan  itu adalah hasil ilah yang lebih rendah, yang biasanya diidentifikasikan dengan Allah Perjanjian Lama.[3]
3.1.1 Keselamatan dicapai karena pengetahuan (Yun)
3.1.2 Valentinus, salah seorang Gnostik yang terkenal, mengetahui tidak kurang dari 30 aeon, menurutnya Kristus hanyalah mempunyai suatu tubuh maya dalam dunia ini, yang Ia tinggalkan lagi sebelum penyaliban. Karena itu bukan Kristus Anak Allah itu yang mati, tetapi hanya seorang manusia Yesus. Kristologi ini disebut "doketisme".
3.2 Irenaeus, orang Yunani yang lahir di Asia Kecil dari keluarga Kristen, semasa kecil sempat mendengarkan Polycarpus, Uskup Smirna, seorang murid Yohanes
3.2.1 Irenaeus sangat dipengaruhi Yustinus, dia menjadi jembatan teologi Yunani Purba dengan teologi Latin Barat.
3.2.2 Karya yang terpenting adalah Sangkalan dan Penggulungan dari apa yang secara salah disebut Pengetahuan (Gnōsis), yang umumnya dikenal dengan judul singkatnya "Melawan Ajaran-ajaran Sesat". Tulisan ini ditujukan terhadap aliran Gnostik.[4]
3.2.3 Irenaeus bertitik tolak dari ajaran Theofilus dari Syria. Allah sejak dari kekal telah bersama-sama dengan Firman dan Hikmat- Nya. Inilah yang disebut hypostasis. Ia melahirkan Firman dan Hikmat- Nya sebelum segala sesuatu dijadikan
3.2.4 Hanya Irenaeus mengembangkan segi-segi dasariah dari suatu ajaran tentang Trinitas. Segi yang khas dari ajaran ini adalah bahwa ia tidak mulai dengan menampilkan pribadi-pribadi itu yang secara bersama-sama dengan Dia adalah Firman dan Hikmat-Nya. Dengan menggunakan terminologi yang berasal dari periode kemudian maka tidak mungkinlah berkata-kata tentang tiga pribadi yang secara bersama-sama ada dalam ajaran Irenaeus tentang Trinitas.[5]
4. Konsep Trinitas Tertullianus, dari Kartago, seorang teolog, yang menulis pertama ke dalam bahasa Latin. Memulai dengan pribadi Allah, Bapa, dan yang bersama-sama dengan Dia, Firman dan Hikmat-Nya yang melahirkan keduanya dengan tujuan penciptaan dunia.
4.1 Karya Tertullianus menemukan formula Trinitas dalam keesaan atau ketiga pribadi: pada satu substansi dalam tiga pribadi yang berhubungan satu sama lain.[6]
4.2 Tertullianus berkata bahwa pribadi-pribadi itu dibedakan non statu sed gradu, nec substantia sed forma, nec poteste sed specie ("bukan dalam kondisi, tetapi dalam derajat; bukan dalam substansi, tetapi dalam bentuk; bukan dalam kuasa, tetapi dalam aspek")[7]
4.3 Jadi yang tiga itu adalah satu walaupun tidak dalam arti satu pribadi. Jadi, unsur-unsur dasariah mengenai ajaran tentang kesamaan substansi dengan acuan kepada Bapa, Anak, dan Roh Kudus sudah terdapat dalam Tertullianus
5. Origenes, lahir dari keluarga Kristen di Aleksandria, mengenai Trinitas berangkat dari dua dasar, yaitu sama seperti Irenaeus dan Tertullianus, dan memberikan tekanan besar pada keesaan Allah
5.1 Maka hanya Bapalah yang Allah, walaupun nama Allah dapat saja dikenakan kepada Anak dan Roh Kudus. Keilahian Anak dan Roh Kudus harus dijabarkan dari Bapa. Allah melahirkan Anak dalam suatu perbuatan yang bersifat kekal. Sebagaimana Anak lebih rendah dari Bapa, demikian juga Roh lebih rendah dari pada Anak. Untuk ketiga pribadi dari keallahan itu, Origenes mempergunakan konsep hypostasis.
5.2 Dengan itu ia maksudkan suatu esensi yang bersifat individual atau subsistensi individual.
5.3 Jadi, mengenai atau menyangkut hypostasis mereka, maka Anak dan Roh adalah berbeda dengan Bapa. Tetapi saat yang sama Origenes juga berpegang pada pendapat bahwa ketiga pribadi itu adalah satu, dalam pengertian bahwa ketiganya memiliki suatu kesatuan dan keserasian kehendak.
Untuk kesatuan seperti ini Origenes sudah mempergunakan konsep homo- ousios (kesatuan keberadaan atau dari satu substansi), yang kemudian menjadi dasar Konsili Nikea (325 M).
[1] Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta: BPK- GM, 1994, hal. 51
[2] Ibid., hal. 53
[3] Tony Lane, Runtut Pijar, Jakarta: BPK-GM, 1990, hal. 9
[4] Lane, ibid., hal. 9
[5] Bernhard Lohse, op cit., hal. 55
[6] Tertullian, Against Praxeas, pas. 12, ANF 3, hal. 607
[7] Ibid., pas 2, ANF 3, hal. 598