Secara Eksepsional, Pengadilan Negeri Tidak Berwenang dalam memutus Perkara Perceraian Kristen (Suatu Pandangan Baru)

Oleh: Rolas Tampubolon, SH., CLA.,

UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada prinsipnya mengandung asas mempersulit terjadinya perceraian oleh pasangan suami istri. Namun, jika perceraian tidak terlelakkan lagi, maka UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan syarat untuk memutuskan perceraian tersebut.

Lain soal dengan hukum Kristen. Cukup jelas bahwa Alkitab sebagai hukum otonom, yaitu yang hukum yang berlaku antara Tuhan dengan jemaatnya (khusus yang Kristiani) telah melarang perceraian terjadi dikalangan suami istri. Hal ini tertuang jelas dalam Maleakhi 2 ayat 16 yang mengatakan "Sebab Aku membenci perceraian, firman Tuhan.."

Ketentuan tersebut bersifat imperatif, karena Tuhan langsung yang mengatakan kepada jemaatnya. Bisa dibayangkan jika Tuhan sudah mengatakan seperti itu, jemaat memberontak dengan melakukan perceraian, akan menimbulkan konsekuensi rohani terhadap jemaat tersebut.

UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan bersifat heteronom dan abstrak. Namun UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sangat menghargai hukum agama sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1 yang menyatakan "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Dalam ketentuan ini disebutkan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam penjelasan Pasal tersebut kata Ketuhanan Yang Maha Esa mempunyai hubungan erat dengan agama/kerohanian.

Dalam hukum nasional, dikenal dengan asas "Lex Specialis derogat legi generali" artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Alkitab secara lex specialis dapat dijadikan sebagai hukum yang utama sehingga secara eksepsional, Pengadilan Negeri dapat menyatakan secara kompetensi absolut bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang memutuskan perkara perceraian kekristenan dan dikembalikan ke Gereja untuk memutuskan masalah tersebut.

Oleh karena itu, Gereja harus mempunyai lembaga khusus yang namanya lembaga konseling. Lembaga ini dapat mencegah terjadinya perceraian pada jemaat. Lembaga ini berfungsi mengetahui masalah jemaat dan mencari jalan keluarnya. Memang agar lembaga ini efektif, perlu juga jemaat terbuka atas masalahnya.

Tulisan ini bersifat pandangan pribadi dengan harapan agar pembuat UU dapat menyempurnakan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan agar kedepan bisa lebih baik lagi.