Tekun + Cemas = Tercengang
Oleh: Sefnat Hontong
Refleksi Minggu Akhir Tahun 2012
Lukas 2:41-52
Di hari minggu terakhir tahun 2012 ini, saya ingin mengajak kita semua merenungkan secara mendalam kisah hidup keluarga Yesus ketika bersama-sama dengan Yesus menghadiri upacara Paskah Yahudi yang dilaksanakan di kota Yerusalem, sebagaimana yang dicatat oleh penginjil Lukas ini. Apa sesungguhnya yang telah terjadi saat itu dan apa makna kisah ini bagi kita ketika akan meninggalkan tahun 2012 dan memasuki tahun yang baru 2013.
Saya mencatat paling tidak ada 4 (empat) hal mendasar dalam kisah ini untuk kita perhatikan, sbb. Pertama, Keluarga Yesus adalah keluarga yang sangat memperhatikan dan menghargai ritus-ritus dan ketentuan-ketentuan dalam agama Yahudi. Buktinya dalam ayat 1 dikatakan: ‘Tiap-tiap tahun orang tua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah’. Sedangkan dalam ayat 2 dikatakan: saat itu Yesus sudah berumur 12 tahun.
Hal ini juga mau memperlihatkan kepada kita tentang ketekunan orang tua atau keluarga Yesus dalam menjalankan semua ketentuan dalam agama Yahudi. Yakni: setiap anak Yahudi yang sudah berumur 12 tahun wajib dinobatkan menjadi anak taurat, yaitu dengan cara mempertemukan mereka dengan guru-guru Yahudi untuk dibimbing dalam pengetahuan dan pengajaran tentang taurat.
Kedua, keluarga Yesus adalah keluarga yang tidak saja tekun secara ritual, tetapi juga tekun dalam mempraktekkan semua yang menjadi tanggung jawab mereka sebagai orang tua. Buktinya dalam ayat 47 dikatakan: ‘Dan semua orang yang mendengar Dia (Yesus) sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya’. Para guru Yahudi heran akan kecerdasan seorang anak Yesus. Dari mana kecerdasan itu diperoleh? Bukan dari siapa-siapa, selain dari papa Yusup dan mama Maria.
Bayangkan saudara! Yusup yang adalah seorang tukang kayu dan Maria yang adalah seorang ibu rumah tangga biasa, -- sama seperti kita semua --, bisa mendidik Yesus sehingga menjadi seorang anak yang cerdas -- dan kecerdasannya telah membuat para guru Yahudi menjadi terheran-heran --, hendak memperlihatkan kepada kita tentang betapa tekun dan seriusnya Yusup dan Maria menjadi guru pertama bagi anak Yesus dalam kehidupan mereka di setiap hari. Ini tentu bukan perkara yang gampang, tetapi juga bukan sebuah perkara yang mustahil untuk dikerjakan. Yusup dan Maria sudah membuktikan hal itu dan mereka berhasil dengan baik.
Saya membayangkan! Ketika Yesus mulai tumbuh dari seorang bayi kecil di Betlehem, kemudian menjadi seorang anak kecil (3 s/d 5 tahun), lalu menjadi anak besar (6 s/d 9 tahun) dan sampai menjadi anak tangguh pada umur 12 tahun ini, Yusup dan Maria tentu mempersiapkan segala hal untuk mendidik Yesus. Mereka pasti membaca taurat, membaca buku-buku ilmu pengetahuan yang lain saat itu, -- sebab, jika tidak --, Yesus pasti tidak secerdas yang disaksikan oleh penginjil Lukas di sini.
Mereka juga pasti sangat ketat dan disiplin dalam membagi waktu kerja dan waktu untuk membimbing/mengajar Yesus dengan berbagai ilmu dan pengetahuan. Dan memang inilah tanggung jawab orang tua Yahudi sebelum anak mereka dinobatkan menjadi anak taurat pada umur 12 tahun. Dan tanggung jawab seperti itu, sudah berhasil dijalankan oleh Yusup dan Maria, sehingga Yesus akhirnya tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan pandai.
Ketiga, sebuah keluarga yang tekun secara ritual dan tekun dalam tanggung jawab, pasti akan merasa cemas apabila anggota keluarganya tidak lengkap. Mengapa? Karena ketekunan sangat mempengaruhi besar-kecilnya rasa memiliki (sense of belonging) seseorang terhadap apa yang ia tekuni. Contoh: seorang ibu yang tekun memasak di dapur, pasti akan sangat merasa cemas apabila kore-kore nasihnya (hoharue) tiba-tiba hilang. Dia pasti akan mencarinya sampai ketemu. Begitu juga apabila seorang bapak yang sangat tekun bekerja di bengkel, pasti akan merasa cemas apabila kunci Inggrisnya tiba-tiba hilang atau diambil orang tanpa sepengetahuannya. Pasti ia akan mencarinya sempai ketemu.
Yusup dan Maria pasti sangat cemas ketika mengetahui bahwa ternyata Yesus tidak seperjalanan pulang dengan mereka dari Yerusalem. Mengapa? karena mereka berdua sangat tekun dalam mendidik dan membesarkan Yesus. Bahkan diceritakan kepada kita bahwa mereka cemas selama tiga hari perjalanan dalam mencari Yesus (ayat 46a). Jika 1 hari orang bisa berjalan sejauh 6 km, maka kecemasan Yusup dan Maria itu terjadi dalam perjalanan sejauh 18 km. Kita bisa membayangkan betapa mereka berdua bingung, takut, ragu-ragu, mungkin juga bisa saling mempersalahkan, baku marah, bafeto, selama jarak 18 km itu. Sekalipun demikian, hal-hal semacam itu sama sekali tidak tertulis dalam teks kita ini. Yang tertulis hanyalah seolah-olah sebuah ungkapan kekesalan Maria, seperti yang tertulis dalam ayat 48b: ‘Nak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami? BapaMu dan aku dengan cemas mencari Engkau’. Dalam bahasa Tobelo rasa cemas Maria dan Yusup itu ditulis dengan kata: mia hininga ihuha, artinya dengan rasa paya dan susah hati mereka berdua mencarinya ke mana-mana. Jadi sebenarnya mereka tidak mencari Yesus dengan emosi dan rasa marah, melainkan dengan hati yang susah, hati yang rindu untuk bertemu.
Keempat, jika hidup ini dibangun dengan ketekunan, maka sekalipun masih ada rasa cemas, namun hasilnya adalah keheranan yang luar biasa, alias keter-cengang-an, baik berasal dari diri sendiri maupun dari orang lain. Fakta hidup seperti inilah yang disaksikan dalam teks kita hari ini. Oleh sebab itu, tidak salah apabila saya membuat rumus kehidupan untuk kita pikirkan dan ingat-ingat, yakni: Tekun + Cemas = Tercengang.
Mari kita lihat (intropeksi) hidup kita selama tahun 2012 ini dan menerapkan rumus kehidupan yang saya buat ini untuk terus kita aplikasikan bagi kehidupan kita di tahun yang baru nanti. Hanya dengan tekun, sekalipun masih ada rasa cemas, hidup kita akan bertumbuh dan menjadi kesaksian bagi orang lain. Tuhan memberkati kita semua.