Umat Kristen Asia Perlu Ciptakan Komunitas Lebih Besar
Umat Kristen Asia Perlu Ciptakan Komunitas Lebih Besar Melampaui Batas Gereja
PORTO ALEGRE, Brazil (UCAN) -- Umat Kristen Asia perlu menciptakan sebuah komunitas yang lebih besar melampaui batas Gereja tradisional, kata Pastor Felix Wilfred dari India pada forum teologi internasional. "Kekuatan profetis umat Kristen Asia sepadan dengan kemampuannya untuk mengakar kuat ke dalam tanah, yang dilupakan misi Kristen Barat di masa lalu," kata Pastor Wilfred dalam presentasinya kepada 300 orang.
"Theology for Another Possible World" adalah tema Forum Dunia tentang Teologi dan Pembebasan. Acara 21-25 Januari di Porto Alegre, Brazil, itu digelar sebagai pembukaan Forum Sosial se-Dunia Ke-5, yang menurut rencana akan diselenggarakan di Brazil pada 26-31 Januari.
Dalam presentasinya, Pastor Wilfred mengatakan, teologi-teologi progresif Asia mempunyai sejumlah perspektif yang sama: munculnya perspektif dari cabang-cabang lain dalam berteologi, perspektif kritis dan feminis, dan teologi agama-agama.
Ia mengatakan, teologi Minjung (masyarakat umum) di Korea, teologi dalit (bekas kaum hina-dina) di India, dan teologi warga suku dan masyarakat adat di berbagai bagian di Asia mendukung suatu perspektif yang sedang bermunculan dalam teologi yang menantang apa yang telah menjadi teologi utama (yang sudah mapan).
Mengamati signifikansi di Asia tentang teologi agama-agama, Pastor Wilfred mengatakan, praktek dialog dan pembebasan harus berkaitan erat satu sama lain. Ia menyarankan agar metode teologi Asia hendaknya kontekstual, inter-disipliner, dan antaragama.
"Relevansi dan signifikansi teologi-teologi Asia yang sedang bermunculan akan bergantung pada kemampuan teologi-teologi itu untuk tanggap terhadap pencarian Asia di semua jenjang," simpulnya.
Dalam presentasi lain pada forum itu, Dwight Hopkins asal Amerika, menggambarkan model-model teologi neo-konservatif, liberal, dan profetis. Ia bekerja di bidang model-model teologi kontemporer, teologi hitam, dan teologi pembebasan.
Para teolog neo-konservatif telah memberi kontribusi pengakuan umum bahwa Amerika Serikat adalah "yang terbaik" dan bahwa "inilah saatnya untuk mengupayakan strategi global di mana politik, ekonomi, budaya, dan agama di Amerika Serikat menjadi norma di seluruh dunia," katanya.
Teologi profetis saat ini terlalu kecil dan lemah, kata Hopkins. Namun ini bisa menjadi kekuatan di tingkat akar rumput lewat kerjasama internasional di kalangan masyarakat yang percaya bahwa "dunia lain itu ada," katanya, sambil meminjam motto Forum Sosial se-Dunia.
Pada upacara pembukaan forum teologi itu, para pelaksana menekankan bahwa agama hendaknya tidak digunakan sebagai alasan atau senjata untuk membenarkan perang atau agresi. Sebaliknya, agama hendaknya menjadi pembawa pesan pengharapan bagi kaum tertindas, kata mereka. Beberapa teolog mengungkapkan harapan mereka bahwa forum teologi itu akan memunculkan pembaruan teologi pembebasan untuk mengatasi dampak negatif globalisasi.
Dalam sebuah pesan ucapan selamat, Asosiasi Para Pemimpin Religius Pria dan Wanita Amerika Latin mengatakan, "Naga yang harus kita hadapi tidak begitu besar dan masih ada harapan". Pesan itu menegaskan teologi pembebasan sebagai sarana bagi pengharapan dan pembebasan.
Forum yang diselenggarakan oleh Asosiasi Para Pemimpin Religius Pria dan Wanita Amerika Latin dan Dewan Gereja-Gereja Nasional Brazil itu berlangsung di Pontifical Catholic University do Rio Grande do Sul.
Aloisio Kardinal Leo Arlindo Lorscheider OFM (pensiunan Uskup Agung Aparecida, Brazil), Uskup Agung Porto Alegre Mgr Dadeus Grings, dan Pendeta Walter Altmann (Ketua Evangelical Church of the Lutheran Confession of Brazil) juga menghadiri forum itu.
Teolog-teolog Asia yang menjadi narasumber antara lain Suster Emelina Villegas dari Kongregasi Hati Maria Tak Bernoda dari Filipina, Pastor Wilfred dan Pastor Michael Amaladoss SJ dari India, dan Pastor Tissa Balasuriya OMI dari Sri Lanka. Narasumber lainnya adalah teolog feminis dari Amerika Serikat, Chung Hyung-kyung, seorang etnis Korea.
Sekitar 300 teolog dan anggota lain dari berbagai denominasi Kristen berperan serta dalam forum yang pertama kali diusulkan oleh Leonardo Boff tahun 2003 itu. Boff, bekas imam Fransiskan dan pakar teologi pembebasan yang terkenal di Brazil, terilhami oleh keberhasilan Forum Sosial se-Dunia.
Forum Sosial se-Dunia pertama kali digelar tahun 1999 di Brazil dan merupakan platform bagi berbagai organisasi yang menentang globalisasi. Semua pertemuan tahunan forum itu diselenggarakan di Brazil, kecuali pertemuan tahun 2004 yang diselenggarakan di India.