TERUSLAH MENULIS, Mazmur 23:3b

"Teruslah menulis", itu adalah pesan yang saya dapatkan via e-mail dari benua lain. Baiklah, frasa yang menjadi motivasi saya itu juga yang menjadi judul dari artikel ini, TERUSLAH MENULIS.

Ada baiknya Anda sudah membaca artikel terdahulu karena artikel ini adalah kelanjutannya. Adapun artikel yang terdahulu adalah
Mazmur 23: 1-3a, sebuah catatan kekayaan sekaligus keindahannya

Mari kita menyimak ayat 3b, Ia menuntun aku

Di Indonesia ada gembala itik (itik adakalanya juga disebut 'bebek'). Memang tidak semua tempat ada itik. Di kota besar kita hampir tidak menjumpainya. Tetapi di daerah pedesaan ada orang yang beternak itik. Adakalanya kita bisa menjumpainya di perjalanan darat jika kita bepergian ke luar kota. Jika Anda pernah menjumpai kawanan itik yang berjalan di darat atau di sungai, maka Anda akan tahu bahwa gembala itik berjalan di paling belakang.

Ada juga binatang lain yang mempunyai gembala yaitu sapi. Jika sapi berjalan bersama dengan gembalanya, maka di mana posisi gembala? Gembala sapi berjalan persis di samping sapi.

Berbeda dengan gembala itik, berbeda juga dengan gembala sapi, maka gembala domba berjalan di depan. Tuhan yang digambarkan sebagai Gembala domba, Dia tidak pernah berjalan di belakang kita atau sekedar di samping kita. Dia selalu berjalan di depan kita. Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memberi tuntunan. Ooooo, betapa berharganya kita.

Gembala dengan ketinggian tubuh yang pasti lebih dari domba-domba, Dia bisa melihat dengan jelas mana jalan yang lebih baik. Tentu dihindarkanNya domba-domba dari semak berduri yang melukai. Atau dipilihNya jalan yang tidak licin. OlehNya dihindarkan dari segala resiko lain yang merugikan dan membahayakan.

Mungkin-mungkin saja perjalanan itu adalah perjalanan yang memutar, tetapi sesungguhnya itulah yang paling aman. Mungkin-mungkin saja tuntunanNya melalui terowongan yang gelap gulita. Percayalah bahwa terowongan itu pasti ada ujungnya dan selanjutnya bisa leluasa bernafas dalam alam terang.

Ketiga anak saya bisa memasak nasi goreng. Dan mereka bangga jika nasi goreng mereka enaknya sama dengan buatan mama. Walaupun hanya memasak yang sederhana sekalipun ada fase saya menuntun mereka. Bagaimana menyalakan dan mematikan kompor. Kira-kira berapa banyak garam yang diperlukan untuk sepiring nasi. Dan seterusnya.

Semakin umur kita bertambah memang semakin berkurang kita memerlukan tuntunan. Bahkan sebaliknya, semakin banyak orang yang meminta tuntunan kita. Kendati demikian ingatlah apa yang dikatakan Tuhan Yesus bahwa sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.

Bukan hanya anak domba saja yang membutuhkan tuntunan gembala. Tetapi semua domba segala umur membutuhkan tuntunan gembala.

Selanjutnya,
masih di ayat yang sama, di jalan yang benar

Di dunia ini ada banyak kebenaran. Bahkan yang salah pun dibuat sama persis dengan yang benar. Mana yang asli dan mana yang palsu semuanya sama baik. Bisa-bisa dan mungkin-mungkin saja yang palsu justru lebih unggul dari yang asli.

Bunga imitasi meskipun tak berbau harum, dia selalu kelihatan segar. Layu tak bisa menjemputnya.

Mutiara sintesis bentuknya dan bahkan kilaunya indah, licin mengkilat. Warnanya pun boleh sesuai selera.

Tart yang palsu menjulang tinggi lengkap dengan dekorasi romantis. Sedangkan tart yang asli hanya kecil saja sebagai pelengkap formalitas di acara-acara resepsi pernikahan.

Jika engkau salah mengagumi apa-apa yang palsu, mungkin kesalahanmu itu berujung pada penyesalan atau sekedar kecewa. Tak mengapa. Saya katakan tak mengapa, karna itu bukan menyangkut soal hidup dan mati.

Lain halnya apa yang ditulis Daud dalam ayat ini, di jalan yang benar, itu menunjuk kepada keseriusan hidup. Sehingga Tuhan Yesus berkata, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku". (Yohanes 14:6).

Ayat ini ditutup dengan, oleh karena namaNya.
Ini bagaikan branded, jika jalan hidup dan nilai-nilai kebenarannya seolah adalah sebuah benda semata.

Ini bicara soal kebanggaan, 'oleh siapa?' Maka jawabnya, "oleh karena namaNya".

Baiklah, berikut ini adalah kisah penutup artikel ini.

Sadhu Sundar Singh
Sumber

http://misi.sabda.org/sadhu-sundar-singh-misionaris-dengan-kaki-berdarah

Kehidupan awal

Pada 3 September 1889, di sebelah Utara India, seorang anak laki-laki lahir dalam sebuah keluarga beragama Sikh. Keluarga Sundar sungguh menyenangkan, mereka memiliki rumah yang bagus dan makanan yang banyak, tidak seperti tetangga-tetangga mereka. Ibu Sundar bergelar Sikh Bakhta, yaitu seorang yang dianggap suci dalam agama Sikh. Ibunyalah yang menolong Sundar untuk menghafal isi kitab suci agama mereka yang bernama Gita.

Sundar berusaha untuk menjadi seorang Sikh yang saleh. Karena itu, ia juga mempelajari buku-buku agama lain. Agama Sikh mengizinkan penganutnya untuk meminjam buku-buku dari agama lain, sehingga Sundar juga membaca buku agama Hindu dan Islam, ia juga mempelajari Yoga. Namun, semuanya itu tidak dapat memuaskan keinginannya dalam mengetahui kebenaran.

Suhu udara di India sangat panas, dan perjalanan yang harus ditempuh Sundar jika ia ingin belajar di sekolah yang disediakan pemerintah sangatlah jauh. Jadi, Sundar memilih bersekolah di sekolah Kristen yang dikelola oleh misionaris dari Inggris. Di sekolah itu, Sundar mempelajari Alkitab, akan tetapi ia tidak menerima pengajarannya.

Kehidupan Sundar berubah sejak kematian ibunya karena ibunyalah yang menjadi pengajar rohaninya. Setelah kematian ibunya, Sundar menjadi benci terhadap orang Kristen dan Tuhan yang mereka percayai. Sundar melawan Tuhan yang sejati dengan menganiaya orang-orang Kristen dan kemudian berhenti dari sekolah. Bahkan, ayahnya menangkap basah Sundar ketika ia membakar sebuah Alkitab. Ayahnya mengingatkannya bahwa ibunya pernah mengatakan bahwa Alkitab adalah buku yang baik, namun Sundar tidak peduli dan membakar Alkitab itu sampai habis.

Pindah ke Kristen

Sundar merasa kehilangan dan takut. Agama Sikh yang dianutnya tidak memberinya kedamaian yang diinginkannya. Ia merasa sangat sedih, sehingga ia memutuskan untuk menabrakkan diri pada kereta yang melaju, agar ia dapat mati dengan tenang. Sebelum melakukan hal itu, Sundar berdoa kepada Tuhan dan memohon tanda bahwa Dia benar-benar ada. Tuhan pun menjawabnya. Sundar bercerita kepada ayahnya bahwa Yesus menampakkan diri kepadanya dalam sinar yang sangat terang, dan mengatakan bahwa Ia datang untuk menyelamatkan Sundar. Kehidupan Sundar berubah. Ia menjadi seorang Kristen dan melayani Yesus sampai akhir hayatnya.

Keluarganya memohon kepada Sundar untuk memikirkan ulang keputusannya terhadap Yesus. Mereka menawarinya uang, namun ketika Sundar menolaknya, mereka berusaha membunuhnya dengan memasukkan racun ke dalam makanannya. Mereka semua menolak Sundar dan tidak mau menolongnya. Kini, Sundar tidak memiliki keluarga yang menyenangkan, maupun makanan yang berlimpah.

Sundar dibaptis saat ia berusia 16 tahun dan memutuskan untuk menjadi seorang Sadhu Kristen. Sadhu adalah sebutan bagi guru agama di India, yang mengajar dari satu tempat ke tempat lain dengan berjalan kaki. Mereka mengenakan jubah kuning, tidak memiliki tempat tinggal, uang, atau harta. Makanan yang mereka makan dan tempat menginap mereka adalah hasil belas kasihan orang lain.

Mengabarkan Injil

Ketika Sadhu Sundar Singh memulai perjalanannya ke berbagai tempat sambil memberitakan firman Tuhan, beberapa orang memberinya makanan dan tempat menginap, tetapi ada pula yang berusaha mencelakai atau membunuhnya. Sundar tidak pernah membalas orang yang mencelakainya, tetapi ia terus menyanyikan atau menceritakan kasih Tuhan. Hal ini membuat banyak orang melihat betapa berbedanya Sundar dengan orang-orang jahat, lalu mereka menerima Yesus ke dalam hati mereka.

Sundar sangat rindu untuk membawa Injil ke negara Tibet, sekalipun ia harus menghadapi banyak bahaya ketika menuju ke sana. Pegunungan Himalaya sangat curam dan sulit diseberangi. Karena bertelanjang kaki atau hanya memakai sandal saja, kaki Sundar selalu berdarah saat berusaha mencapai Tibet. Kadang-kadang, ia juga harus menghadapi badai salju yang membuatnya tidak dapat melihat ke depan. Ada pula macan tutul salju yang sering kali menyerang dan membunuh para pengembara yang berjalan sendirian. Lebih daripada itu, ada bahaya lain yang harus dihadapi Sundar, yaitu penganiayaan dari penduduk Tibet. Namun, Sadhu Sundar Singh bertekad melintasi Pegunungan Himalaya untuk mengajarkan berita Injil kepada orang-orang Tibet.

Pada suatu kali, di Tibet, Sundar dimasukkan ke dalam sumur. Orang-orang Tibet menutup sumur tersebut dan menguncinya. Tangannya patah karena dijatuhkan ke dalam sumur tersebut. Setelah tiga hari, tutup sumur itu terbuka dan seutas tali diulurkan ke dalamnya untuk menolong Sundar keluar dari sumur. Ketika Sundar sampai di atas dan ingin mengucapkan terima kasih kepada penolongnya, ia tidak menemukan siapa pun.

Orang-orang Tibet yang menaruh Sundar ke dalam sumur itu sangat marah ketika mereka berhasil menangkap Sundar kembali. Salah satu dari mereka ingin tahu, siapa yang mencuri satu-satunya kunci untuk membuka tutup sumur itu. Tetapi kemudian, mereka membebaskan Sundar saat menyadari bahwa satu-satunya kunci untuk membuka tutup sumur itu masih ada pada mereka.

Selama perjalanannya, Sadhu Sundar Singh mengalami banyak peristiwa ajaib, dan banyak orang yang mendengarkan khotbahnya menjadi percaya. Sundar menjadi salah satu tokoh agama yang paling dikenal di seluruh India.

Suatu hari pada tahun 1929, Sundar melakukan perjalanannya yang terakhir menuju Tibet. Ia menghilang di Tibet, namun tak seorang pun pernah menemukan jasadnya.

Berikut ini adalah sepotong kisah Sadhu Sundar Singh yang beredar di WA saya

Suatu siang Sadhu Sundar berjalan di Himalaya bersama seorang temannya. Cuaca sangat buruk dan dingin. Sore tiba dengan cepat dan temannya memperingatkan bahwa mereka harus tiba di tujuan sebelum malam.

Ketika mereka melalui jalan setapak di atas jurang kecil, mereka mendengar rintihan, seorang pria telah jatuh dan terluka parah. Teman Sadhu berkata, “Jangan berhenti. Tuhan telah menempatkan dia dalam karmanya. Ia harus menyelesaikannya sendiri. Mari kita bergegas sebelum kita juga mati.”

Tetapi Sadhu menjawab, “Tuhan mengirimkan aku ke sini untuk menolong saudaraku ini. Aku tidak bisa mengabaikannya.” Sadhu menuruni jurang, sementara temannya melanjutkan perjalanan.

Ternyata pria itu tidak bisa jalan karena patah kaki. Sadhu mengikat orang itu di punggung dengan mantelnya. Mulailah ia merangkak naik dengan penuh penderitaan.

Tiba di jalan setapak tadi, Sadhu telah mandi keringat. Dengan susah payah ia menembus kegelapan dan salju yang menebal.

Ia berusaha kuat walaupun rasanya hampir pingsan kelelahan. Akhirnya ada cahaya lampu. Mendadak ia hampir jatuh tersandung. Sadhu berlutut dan menyingkirkan salju, ternyata ia tersandung oleh tubuh rekannya yang mati membeku kedinginan!

Sadhu selamat justru karena ia menolong pria asing itu. Dengan menggendong beban berat, Sadhu berkeringat dan ketika tubuh Sadhu bersentuhan dengan tubuh pria itu, tubuh mereka berdua menjadi hangat.

Lama setelah itu, seorang murid bertanya pada Sadhu, “Apa hal yang paling sulit dalam dunia ini?” Sadhu menjawab, “Tidak memiliki beban untuk dibawa.”

Yang dimaksud dengan memiliki beban di sini bukan beban dosa atau masalah akibat kesalahan kita sendiri, melainkan mungkin orang tua yang perlu dirawat, pasangan yang sulit, anak yang bermasalah dll.

Pengorbanan kita bagi orang lain, ternyata justru menolong kita sendiri, "TUHAN DAPAT MENGUBAH SEBUAH BEBAN MENJADI BERKAT"

Demikianlah kisah ini menutup ulasan Mazmur 23:3b
Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena namaNya

Yvonne Sumilat, di awal tahun 2016, 4 Januari
yang meluap dengan syukur karena berkatNya menyapa sebagai awal yang baik di tahun yang baru.