Pelayanan Kaum Awam (2)
Oleh: Herlianto
Menyusul artikel Pelayanan Kaum Awam beberapa hari yang lalu, ada pengalaman lebih segar yang menunjukkan rencana Tuhan yang indah di akhir zaman ini. Hari Senin kemarin, ketika diminta mengajar 3 sessi (sehari) di Pembinaan Alumni Kristen di Bandung dialami pengalaman baru yang menunjang pengalaman yang diceritakan dalam artikel Pelayanan Kaum Awam. Pembinaan itu diikuti 17 sarjana (dari berbagai disiplin ilmu termasuk Sarjana Teologi) dari berbagai wilayah di tanah air, dan itu sudah angkatan ke-XIX.
Pembinaan kepada para alumni perguruan tinggi yang merasakan terpanggil tetapi tidak bisa masuk sekolah teologi karena pekerjaan mereka itu dicetuskan sekitar 20 tahun yang lalu. Kala itu beberapa aktivis gereja ekumenis tergerak pelayanan misi OMF (misi dari Inggris yang umumnya mengirim tenaga-tenaga misi yang punya keahlian sekular sekaligus teologi) yang antara lain membantu pelayanan di gereja ekumenis itu. Salah satu dari tenaga misi itu adalah doktor ahli kimia tanah lulusan Oxford yang juga teolog dan menjadi dosen di IPB, dan lulusan sekolah musik di London yang kemudian belajar teologi dengan gelar doktor dari Tubingen yang juga mengajar di ITB. Tim nasional terdiri dari para ahli lokal, termasuk seorang dipl. Ing yang kini menjadi salah satu pimpinan di Siemens, disamping itu ada pengacara, dokter, dosen ITB, dan beberapa lainnya yang bersehati membimbing pelayanan dengan waktu, keahlian dan uang mereka.
Belasan tahun silam, salah satu peserta adalah alumnus ITB yang mengikuti program 2 bulan itu (diadakan setahun sekali) sekalipun saat itu ditawari menjadi dosen di ITB karena prestasinya, setelah mengikuti program pembinaan itu, ia memenuhi tawaran dan diterima menjadi dosen ITB dan beberapa tahun kemudian mendapat kesempatan mengambil Master dan Doktor di USA.
Di Amrik, ia tidak hanya mengisi dirinya dengan ilmu pengetahuan tetapi bersama-sama dengan beberapa profesional asal Indonesia lainnya melakukan fellowship yang menumbuhkan iman dan wawasan teologi mereka, alhasil banyak diantaranya kemudian pulang ke Indonesia dengan iman yang segar dan dorongan misi yang besar, termasuk si doktor yang kemudian menjadi pengurus aktif di pembinaan di Bandung itu, dan juga seorang yang dulunya sarjana sipil dengan magister dari Australia yang kemudian belajar lama di Amrik dan sekarang menjadi dosen di universitas di Surabaya. Salah satu peserta fellowship itu adalah doktor ahli fisika yang baru-baru ini menerima penghargaan dari presiden atas prestasinya. Salah satu misionari OMF yang dahulu merintis program pembinaan alumni itu yang kemudian pulang dan mengajar di Oxford, Inggris, juga secara berkala ikut membina kelompok profesional di Amrik itu.
Pembinaan Alumni itu cukup unik karena tidak hanya mengisi para peserta dengan dasar-dasar teologi saja tetapi juga mengisi pengalaman profesionalisme mereka. Seusai pembinaan, beberapa peserta yang belum memiliki pekerjaan diusahakan magang di beberapa perusahaan, ini dimungkinkan karena para pengurus program itu adalah para profesional yang umumnya memiliki jabatan di perusahaan-perusahaan dan memiliki jaringan dengan rekan-rekan mereka di perusahaan-perusahaan lain. Para sarjana plus itu beberapa diantaranya bahkan kemudian diserap oleh perusahaan-perusahaan dimana mereka magang.
Yang menarik, sistem pembinaan disitu cukup komprehensip, karena setelah mereka kembali, mereka memperoleh follow-up dengan bahan-bahan berupa kaset, CD, maupun internet, dan sewaktu-waktu dikunjungi oleh senior mereka dari Bandung. Di daerah, umumnya mereka meneruskan program itu dengan menginisiasi program semacam di daerah mereka, dan sudah direncanakan akan adanya gabungan program Bandung dengan program daerah menuju suatu program regional. Sungguh bola salju telah bergulir makin jauh dan makin besar karena adanya beban panggilan para profesional yang tidak hanya memikirkan karier dan kesejahteraan keluarga mereka tetapi memiliki hati kasih untuk menolong para sarjana yang merasa terpanggil di daerah-daerah. Beberapa di antara para lulusan pembinaan itu kemudian melanjutkan teologi formal di berbagai STT.
Di Indonesia, sebenarnya pelayanan di kalangan mahasiswa dan sarjana sudah lama dilakukan GMKI, tapi sebagai institusi ekumenis, sayang kecenderungannya lebih bersifat horisontalis. Memang diakui bahwa aktivitas GMKI melengkapi para mahasiswa dan sarjana kristen dengan visi dan misi organisatoris yang kuat dimana para alumninya banyak menduduki posisi di partai-partai politik, dan bahkan ada aktivisnya yang kebablasan dengan ikut-ikutan berdemo mengutuk Israel (tanpa menyalahkan juga kaum Hizbollah). Namun sayang kerinduan mereka soal hal-hal yang bersifat rohani makin luntur sehingga nyaris tidak ada bedanya dengan ormas kemahasiswaan sekuler.
Di balik kelesuan rohani GMKI, pada dasawarsa 1960-an kekosongan itu diisi dengan makin maraknya kehadiran persekutuan mahasiswa Injili seperti Perkantas, LPMI (Campus Crusade), dan Para Navigator. Dua dasawarsa kemudian persekutuan mahasiswa Kharismatik ikut meramaikan pelayanan di kampus-kampus.
Bila dilihat GMKI yang Ekumenis sangat bersifat horisontalis, Gerakan Mahasiswa Injili dan Kharismatik justru bersifat vertikalis. Karena itu bila kedua aspek positip dua kubu itu disatukan, sebenarnya kerjasama keduanya bisa membantu pelayanan mahasiswa dan sarjana secara utuh, baik vertikalis maupun horisontalis, baik rohani maupun organisatoris. Memang tidak mudah untuk menyatukan kubu Ekumenis dan Injili/Kharismatik karena banyak faktor menyertainya seperti faktor emosional dan politis. Tapi ada juga gereja-gereja yang sudah mengalami hal ini bahwa memang keduanya dibutuhkan dalam pengembangan kerajaan Allah di gereja-gereja mereka.
Ada pengalaman menarik di salah satu Sinode. Sinode GKI berasal dari latar belakang gereja Tionghoa yang semula mengalami rintisan dari misionari Belanda (Hervorm dan Gereformeerd) tetapi juga ada pengaruh dari pelayanan penginjil John Sung. Sekalipun ada resistensi kuat kalangan pendeta tertentu yang alergi terhadap STT-Injili, dimana secara formal lulusan STT-Injili ditolak menjadi pendeta di lingkungan sinoda tersebut, secara non-formal fakta menunjukkan bahwa di sinode ini ada klasis yang berlatar belakang Injili, dan yang berlatar belakang Hervorm dan Gereformeerd saat ini sudah ada puluhan pendetanya yang lulusan STT Injili (terutama SAAT) bahkan saat ini ketua Sinode wilayah Jatim dipegang pendeta yang notabena adalah lulusan SAAT.
Sekalipun masih saja ada ketakutan di kalangan beberapa pendeta muda (yang umumnya berlatar belakang STT-Ekumenis) bahwa keterbukaan akan STT-Injili dikuatirkan menyebabkan perpecahan, fakta menunjukkan bahwa kehadiran pendeta-pendeta STT Injili di gereja-gereja ekumenis ternyata banyak mendatangkan berkat bagi pertumbuhan jemaat, bahkan ada jemaat yang pendetanya fobia terhadap STT-Injili, jemaatnya rindu pelayanan Injili dan kemudian mengundang lulusan STT-Injili menjadi pendeta kedua.
Pengalaman sinoda GKI ini (bukan pengalaman antipatinya tetapi pengalaman simpatinya) dengan membuka diri terhadap lulusan STT-Injili bisa dijadikan cermin sinode-sinode ekumenis lainnya yang berasal dari pelayanan misi Belanda dan Jerman. Kehadiran mereka sangat banyak mendatangkan berkat bagi jemaat. Contoh jemaat Ekumenis yang dicertakan diawal artikel ini menunjukkan bahwa mereka terbuka akan misi OMF yang Injili dan menghasilkan gerakan Awam yang membantu pelayanan gereja (para pengurusnya banyak yang menjadi majelis jemaat di gereja ekumenis).
Entah apa rencana Tuhan di akhir zaman ini, yang jelas dikala gereja-gereja kurang menaruh perhatian kepada dunia kampus dan nyaris tidak berusaha melayani mahasiswa dan sarjana di kampus-kampus sekuler, ditengah itu pelayanan mahasiswa kristen dan pembinaan alumni menjadi suplemen yang sangat dibutuhkan. Bukan untuk dijadikan obyek irihati dan dianggap saingan tetapi perlu dijadikan rekan sekerja yang positip. Kita mengucap syukur kepada Tuhan karena belakangan ini makin banyak gereja-gereja ekumenis yang membuka diri terhadap gerakan Injili/Kharismatik dan mengajak mereka sebagai mitra pelayanan untuk memajukan jemaat, ini jauh lebih baik daripada jemaat lari dari gereja dan pindah ke gereja-gereja Injili/Kharismatik.
Pengalaman Dr. Eka Darmaputera dari GKI sangat positif, dikala beberapa rekannya sangat alergi bahkan mengidap fobia terhadap STT-SAAT yang Injili, dikala itu ia yang alumnus STT-ekumenis bahkan mengajar di SAAT bukan untuk melatih calon pesaing-pesaing tetapi untuk melatih hamba-hamba Tuhan yang makin beriman dan berkwalitas. Eka telah meninggalkan kita, tetapi semangat ekumenisnya perlu menjadi cermin yang terus menerus di jadikan tempat berkaca diri.