Aksesoris ‘Salib’ di Pinggiran Jalan

Oleh: Sefnat A. Hontong

Sejak tahun 2001 hampir di seluruh wilayah Halmahera di mana terdapat jemaat Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH), selalu pada saat menjelang perayaan Paskah (masa pra Paskah); --seperti sekarang ini--, akan terlihat fenomena ‘Salib’ di pinggiran jalan. Seolah-seolah tanpa ‘salib’ di pinggiran jalan, belumlah lengkap suasana dan perayaan masa pra Paskah. Beberapa orang pernah bercerita dan menganalisa fenomena yang dianggap baru ini. Sebagian dari mereka mengatakan ‘tradisi’ ini diadopsi dari kebiasaan warga jemaat di Gereja Masehi Inili di Minahasa (GMIM) dalam merayakan masa pra Paskah. Sebagian lagi menyatakan merasa heran dan bingung karena fenomena ini secara tiba-tiba muncul dan terus lestari hingga kini.

Tanpa mempersoalkan dari mana tradisi ini disumberkan, saya lebih memilih untuk melihatnya sebagai sebuah fakta dari dalam, yang saya sebut dengan ‘fakta kontinuitas hidup pasca rusuh’, yang membutuhkan sebuah symbol aplikatif-survived. Berikut saya ingin menjelaskannya!


 
‘Salib’, Fenomena Kontinuitas Hidup Pasca Rusuh

F.W. Dillistone dalam ‘The Power of Symbols’, mengutip Ernst Cassirer seorang professor asal Jerman, menegaskan bahwa manusia adalah “animal symbolicum”, yang berarti: hanya dengan menggunakan simbol-simbol, manusia dapat mencapai potensi dan tujuan hidupnya yang tertinggi.

Tanpa bermaksud mengungkit-ungkit masa lalu yang suram, saya ingin mencatat bahwa accessories ‘Salib’ di pinggiran jalan di masa-masa pra Paskah, --yang mulai muncul sekitar tahun 2001 dan lestari hingga kini--; berdasarkan kutipan pemikiran di atas, pada dasarnya hendak menunjukkan kepada kita tentang sebuah cara berada atau cara mengungkapkan diri (bereksistensi) sebagai masyarakat yang hidup, yang tidak akan ‘kalah’ begitu saja terhadap kekerasan dan konflik yang berdarah-darah.

Hal semacam itu bukan hendak menunjuk pada sikap superioritas sekelompok masyarakat yang satu terhadap sekelompok masyarakat yang lain, namun adalah sebagai wujud dari totality being of community, yang teraktualisasi melalui penghayatan symbol-simbol yang hidup dalam masyarakat. Yang sekarang ini, kebetulan secara kasatmata diwakili penghayatannya oleh warga gereja (orang Kristen)--. Intinya dalam pandangan saya, fakta accessories ‘Salib’ di pinggiran jalan seperti yang tampak sekarang ini, mau memberi indikasi kepada kita bahwa: sesudah masa-masa sulit, selalu ada pengharapan baru untuk hidup di masa depan.
 
Salib Lambang Penderitaan, Rekonsiliasi, dan Perdamaian.

Lalu bagaimana teologi Kristen memberi makna terhadap fakta ’Salib’ seperti ini? Banyak orang Kristen akan secara otomatis mengatakan bahwa ’Salib’ adalah lambang penderitaan. Namun dalam kesaksian Alkitab, makna ’salib’ sebenarnya tidak berhenti pada penderitaan (dan kematian), melainkan berlanjut pada kebangkitan dan hidup baru. Kalau ’salib’ hanya bermakna penderitaan dan kematian, maka kesaksian tentang Yesus-pun akan berhenti dan selesai pada ’kayu salib’. Tetapi, Alkitab memberi kesaksian yang lain, setelah penderitaan dan kematian, Yesus bangkit dan memperoleh hidup baru. Makna ’salib’ masih berlanjut, tidak berhenti pada penderitaan melainkan melampauinya dan menghadirkan kehidupan baru.

Di sini ’salib’ sekaligus menjadi ’jalan’ datangnya kehidupan baru. Karya Yesus seperti itulah yang hendak dijelaskan oleh rasul Paulus dalam Efesus 2:12-16 dan Kolose 1:19-20. Kata memperdamaikan dan pendamaian dalam Efesus 2:12-16 dan Kolose 1:20 tersebut ditulis dengan kata Yunani apokatallaxai -- yang berarti: ’memperdamaikan’ --, dan kata eirenopoietas -- yang berarti ’pendamaian’--. Kata apokatallasso -- yang berarti memperdamaikan --, dipakai dalam rangka menjelaskan proses rekonsiliasi, sedangkan kata eirenopoietas, -- yang berarti pendamaian -- digunakan dalam rangka menjelaskan keadaan atau kondisi yang penuh damai dan sejahtera (eirene) sebagai akibat dari proses rekonsiliasi. Intinya melalui apokatallasso terciptalah eirenopoietas, dan eirenopoietas itu tercipta justru karena peristiwa ’salib’.

Dalam era pasca konflik dan dalam upaya membangun perdamaian seperti di Halmahera dan Maluku Utara, makna ’Salib’ seperti ini sangat penting. Bahkan harus dikatakan jika ’Salib’ hanya dimaknai sebagai lambang penderitaan, hal itu belum mewakili makna ’Salib’ yang sesungguhnya. ’Salib’ yang disaksikan oleh Alkitab adalah ’Salib’ yang bermakna selain penderitaan, juga rekonsiliasi dan perdamaian. Bukan saja rekonsiliasi dan perdamaian dengan Allah, melainkan juga dengan sesama dan seluruh kosmos. Malah menurut saya, jika makna ’Salib’ sebagai rekonsiliasi dan perdamaian ini dibawa ke konteks masyarakat Halmahera dan Maluku Utara di era pasca konflik, maka makna yang harus ditekankan adalah ’Salib’ sebagai simbol rekonsiliasi dan perdamaian di antara manusia yang beragama Kristen dan Islam.

Maka dari itu, apabila accessories ’Salib’ di pinggiran jalan adalah simbol perwujudan diri sebagai masyarakat yang hidup dan tidak ’kalah’ pada kekerasan dan konflik yang berdarah-darah, maka panggilan dan tanggung yang sedang menanti kita adalah membangun perdamaian dan rekonsiliasi yang sejati.