Jonathan Edwards

Penulis : Stephen J. Nichols

Saya ingat waktu pertama kali saya mencoba untuk membaca tulisan Jonathan Edwards. Saya sedang mengunjungi sebuah college dan duduk di sebuah kelas sejarah gereja yang pada hari itu diajar oleh seorang dosen tamu yang akan mengajar tentang Jonathan Edwards. Ia mengakhiri perkuliahan dengan menantang kami untuk membaca Religious Affections, dan ia menyebut buku ini sebagai buku terpenting kedua setelah Alkitab yang harus dibaca oleh orang Kristen. Seorang sarjana baru-baru ini berkata bahwa Edwards terus dan terus membawa dampak di dalam teologi dan pemikiran di Amerika. Jika melihat timbunan tulisan yang bertemakan Edwards, maka apa yang ia bicarakan bisa jadi benar. Faktanya, sejak sekitar tahun 1950-an hingga sekarang ada hampir tiga ribu buku, disertasi dan artikel yang telah ditulis tentang Edwards.

[block:views=similarterms-block_1]

Mengapa begitu banyak orang yang tertarik dengan Edwards. Saya akan memberikan empat alasan:

Pertama, Kehidupan pribadinya sangat menarik. Ia adalah satu-satunya pria dari sepuluh bersaudara. Ayahnya, ayah mertuanya, kakeknya, salah seorang anaknya dan salah seorang menantunya, beberapa cucunya, beberapa pamannya dan beberapa keponakannya adalah pendeta. Ia juga adalah kakek dari wakil presiden Amerika Serikat yang ketiga. Edwards sudah bergelar sarjana di saat ia masih muda, ia pernah melayani di salah satu gereja paling terpandang di New England pada waktu berusia 26 tahun. Dan ironisnya, ia diberhentikan setelah dua puluh dua tahun melayani. Ia melayani sebagai misionaris bahwa orang-orang Amerika asli dan menutup hidupnya sebagai rektor Princeton.

Relasi yang ia nikmati dengan isterinya telah melegenda. Saat pertama kali berjumpa dengannya, Edwards telah terpesona olehnya dan merangkai puisi akan kebajikan wanita ini di bukunya. Pada saat ia hampir meninggal dunia, ia berbicara tentang "persatuan yang tidak biasanya", yang ia nikmati bersama Sarah. Ia juga adalah seorang ayah yang mengasihi anak-anaknya, yang dibuktikan dari surat-menyurat yang hangat di antara mereka. Selama terjadinya Kebangunan Besar, ada banyak tuntutan yang memenuhi jadwal Edwards, tetapi ia selalu menyediakan waktu untuk memberikan perhatian yang tak terbagi kepada anak-anaknya.

Kedua, ia juga adalah seorang yang tahu bagaimana menggembalakan. Ia memang agak sedikit malu-malu dan lebih banyak di rumah bersama buku daripada bersama orang lain. Tetapi ia tetap menyediakan waktu untuk melawat jemaatnya, khususnya mereka sedang berada di dalam kesusahan jiwa. Bahwa setelah ia pindah ke Northampton, ia masih sering berkirim surat dan menjawab pertanyaan dari jemaatnya dulu.

Ketiga, Edward juga banyak diperhatikan karena kehidupan pemikirannya. Ia masih menyimpan seri catatannya selama kuliah hingga akhir hidupnya. Di dalam catatan-catatan ini, ia menulis berbagai pemikirannya, sebagian singkat dan sebagian sampai memenuhi seluruh halaman. Ia bahkan masih kembali ke catatan-catatan itu berpuluh-puluh tahun kemudian, memberikan refleksi yang baru tanpa membongkar bangunan dasarnya. Ia membangun sistem coretan tangan dan rujukan yang begitu rumit hingga dibutuhkan seorang pemecah sandi militer untuk bisa membongkarnya. Ia memiliki meja tulis khusus dengan banyak laci dan kabinet, dan ia menyimpan buku-buku tertentu di laci-laci tertentu.

Keempat, Edward memikirkan dan menulis tentang banyak topik dan isu. Ia meneliti natur dan aktivitas seekor laba-laba, menggali kedalaman Alkitab, menyelidiki bentuk-bentuk etika, dan bergelut dengan isu-isu teologi. Para sarjana di bidang sastra, sejarah, filsafat masih membaca Edwards bersama-sama dengan para teolog, gembala dan orang awam. Setiap tulisannya bertahan hingga dua ratus tahun dari sejak pertama kali diterbitkan.

Saya pernah menghadiri suatu konferensi tentang Edwards dan di akhir acara, seorang pengunjung bertanya kepada para panelis apa yang telah mereka pelajari tentang Edwards. Saya tidak bisa melupakan jawaban dari seseorang yang mungkin mengenal Edwards lebih dari siapapun, George S. Claghorn. Jawabannya singkat tetapi begitu sulit dilupakan: ia berkata bahwa Edwards adalah seorang yang terfokus, tak kenal takut dan setia.

Keindahan dan kemuliaan Allah sungguh mewarnai kehidupan dan tulisan-tulisan Edwards. Ia menetapkan pikirannya kepada api dan hatinya hangat terbakar. Tidak heran jika ia terus memiliki sesuatu untuk dikatakan kepada gereja ratusan tahun setelah kematiannya. Tidak heran pula jika orang-orang masih mau mendengarkan dia.

Sumber: Jonathan Edwards: A Guided Tour of his Life and Thought, hal 17-22