Sama-Sama Benar?

Penulis : Eka Darmaputera

Charles Templeton menolak memberi penilaian terhadap bekas rekan- sejawat dan sahabat-dekatnya, Billy Graham, yang tetap bertahan pada imannya. Katanya, "Apa hak saya mengadili kepercayaan orang lain? Yang paling-paling bisa saya katakan adalah, bahwa saya merasa sedih sebab ia telah menutup akal-sehatnya dalam melihat kenyataan. Tapi apakah saya mengharapkan ia celaka? Sama sekali tidak!" "Saya tak ingin mencampuri kehidupan pribadi orang lain. Bila orang memilih untuk beriman, dan ini membuat mereka lebih baik, oke! Walaupun dalam anggapan saya itu bodoh. Saya tahu betul bahwa, bagi orang-orang tertentu, menjadi Kristen itu amat penting. Bagaimana itu telah mengubah diri mereka. Membantu mereka menangani persoalan- persoalan sulit. Tapi apakah itu disebabkan karena Allah ada? Tidak!" "Orang-orang ateis mengatakan, Allah tidak ada. Orang Kristen mengatakan, Allah ada. Sedang para agnostik mengatakan, "Saya tak bisa mengetahuinya". Bukan "tidak tahu", tapi "tidak bisa tahu"! Sebab itu, saya tidak berani mengatakan tegas-tegas bahwa "Allah" itu tidak ada, sebab saya tidak tahu. Tidak mungkin saya tahu semua hal. Hanya saja, tak mungkin saya mempercayai atau beriman kepada- Nya." Itu Charles Templeton, seperti yang tertulis dalam dalam buku Lee Strobel, "The Case For Faith". Pilihan untuk beriman atau tidak bukanlah soal benar atau salah.. Namun, bagi Templeton, benar atau salah, "beriman" itu tak ada manfaatnya.

[block:views=similarterms-block_1]

SALAH seorang kenalan saya ­ seorang pengusaha sukses dan ilmuwan yang amat terpelajar ­ juga punya kesimpulan serupa. Pada suatu ketika ia harus ke Amerika Serikat untuk menjalani operasi jantung. Di sebuah rumah sakit paling terkemuka, serta ditangani oleh dokter paling jempol di dunia waktu itu, tentu saja. Sekembali dari operasi yang berjalan sukses itu ia bercerita, bahwa di rumah sakit ia sempat bersahabat dengan dua orang. Sebut saja yang satu Charles, dan yang lain Peter. Mereka bertiga menderita penyakit yang sama, menjalani operasi yang sama, oleh dokter yang sama, dan pada hari yang sama pula. Tapi "nasib" ketiga orang itu ternyata tidak sama. Charles, seorang Kristen yang amat taat, selamat. Tapi Peter, juga seorang kristen yang taat, tidak beruntung. Operasinya gagal. Kenalan saya? Ia seorang "free-thinker" alias tidak beragama, ber"nasib baik". Ia pulang ke Tanah Air dengan segar bugar. Yang menarik adalah refleksinya atas pengalamannya itu. Katanya, "Bukankah semua ini membuktikan sekali lagi, bahwa "iman" atau "agama" itu tak ada relevansinya sama sekali dengan kehidupan nyata manusia? Anda lihat: Charles dan Peter sama-sama penganut Kristen yang taat. Tapi mengapa yang satu selamat, sedang yang lain mati? Dan bagaimana dengan saya sendiri? Saya tentu amat bersyukur sebab saya selamat. Tapi bagi saya, itu terutama adalah berkat hebatnya peralatan serta kepiawaian dokter. Tak ada hubungannya dengan soal "iman" atau "agama". Buktinya, virus hepatitis toh menyerang Anda dan tak mau pergi-pergi, sekalipun Anda pendeta. Banjir juga tak akan berbelok arah, hanya karena tak mau menerjang rumah orang kristen. Iya, "kan?

DUA kesaksian tersebut berbeda lagi dengan yang berikut ini. Pada suatu pagi, ketika saya merasa tak punya janji dengan siapa pun, saya melihat sebuah taksi berhenti di depan rumah. Lalu keluarlah seorang pria, tertatih-tatih dengan tongkat putihnya, sambil memanggil-manggil nama saya. Dalam situasi normal, saya pasti akan meminta pembantu saya mengatakan bahwa saya tidak dapat menerima tamu pagi itu. Tapi situasi waktu itu jauh dari normal. Pria itu buta, dan mengaku telah pergi ke mana-mana mencari alamat saya. Bagaimana mungkin saya menolaknya? Saya dengan tertatih-tatih pula lalu menggandengnya masuk rumah. Ia membuka pembicaraan, dengan mengatakan bahwa sebenarnya cuma sekali ia "berjumpa" dengan saya. Itu pun dari jauh. Dan (karena keadaannya) pasti tak pernah melihat saya, yaitu di kota Poso, bertahun-tahun yang lampau, ketika saya melayani sebuah kebaktian di sana. Saya balas bertanya, "Lalu Saudara siapa? Dan apa tujuan Saudara?". "Saya adalah Toni Blablabla (saya tak ingat persisnya), seorang evangelis free-lance. Saya punya keinginan kuat untuk sekali pergi ke Jakarta. Dan yakin pasti bisa, walau tak tahu bagaimana caranya. Ternyata benar. Minggu lalu saya ke Parigi. Ngobrol-ngobrol dengan seseorang, eee, ia memberi saya uang. Jumlahnya cukup untuk sekali jalan saya ke Makasar. Dalam perjalanan ke Makasar, saya berjumpa lagi dengan seseorang. Ternyata ia juga memberi saya uang. Jumlahnya cukup untuk sekali jalan ke Jakarta. Semua ini berkat keajaiban pertolongan Tuhan yang menjawab doa-doa saya.. Di Jakarta saya hanya mengenal nama Pak Eka, maka pergilah saya ke kantor PGI menanyakan alamat Bapak. Dan kini saya berada di sini. Saya tidak menyangka bapak sakit" Ringkas cerita, kami lalu berdoa bersama-sama, saya memberinya sejumlah uang, memanggilkan taksi, dan pergilah saudara saya, Toni Blablabla. Entah di mana ia sekarang. Yang ingin saya katakan adalah, bahwa bagi orang seperti Toni "iman" itu sungguh besar dan amat nyata manfaatnya. Iman itu sajalah yang telah membawa ia tanpa bekal sampai ke Jakarta. Dan kesaksian- kesaksian semacam itu banyak sekali kita dengar, bukan? Siapa bilang "iman" tak ada manfaatnya?

BERMANFAATKAH iman? Atau tidak? Bagaimana kita harus menjawab pertanyaan ini? Pertama-tama, saya kira kita harus mengatakan, bahwa dua pendapat tersebut punya kebenarannya masing-masing. Pada satu pihak, ditinjau dari satu sudut pandang tertentu, tidaklah salah utnuk mengatakan bahwa "iman" itu tak ada manfaatnya bagi kehidupan manusia. Ambil saja fakta sederhana berikut ini Iman kristiani, kita tahu, telah berusia 2000 tahun lebih. Iman Yahudi cikal-bakalnya jauh lebih tua lagi. Pertanyaannya: selama ribuan tahun itu, apakah dunia kita menjadi kian baik? Bumi kita kian sejahtera? Manusia-manusia-nya kian bijak, bajik serta berbudi? Saya yakin kebanyakan orang akan mengatakan, bahwa selama ribuan tahun itu dunia memang telah berubah semakin canggih, dan manusia- manusianya semakin pintar. Tapi menjadi kian bijak, bajik dan berbudi? Tidak! Pada dasarnya, manusia ya begitu-begitu saja dari dulu sampai kini. Mungkin tidak semakin bobrok, tapi jelas tidak pula semakin baik. Nah, bila ini pun adalah jawaban Anda, maka pertanyaan saya, iman itu apa manfaatnya? Iman juga terbukti tak berdaya mencegah meluasnya ketidakadilan; tak mampu mencegah munculnya virus-virus baru yang mematikan; tak kuasa mencegah terjadinya bencana, serta tak berdaya memadamkan api kebencian antar manusia. Atau Anda punya pendapat berbeda?

NAMUN, pada saat yang sama, bila kita jujur dan objektif, kita juga tak mampu menutup-nutupi kenyataan bahwa, dari masa ke masa, "iman" telah membawa berkat, hikmat dan manfaat nyata dalam kehidupan milyaran manusia. Bila mengganggu, baiklah, untuk sementara kita sisihkan kesaksian- kesaksian "picisan", yang lebih memberi kesan bahwa Tuhan itu tak lebih dari "mesin" atau "pelayan", yang setiap saat siap memenuhi keinginan kita­termasuk yang remeh-temeh. Dari Tuhan membuat kita berhasil mengeluarkan barang selundupan dari pelabuhan, sampai Tuhan menyediakan tiket pesawat plus uang saku bagi seorang pendeta yang ingin berkunjung ke manca-negara. Saya pun, terus terang, amat terganggu. Tapi, terlepas dari itu, siapa dapat menyangkali peran iman dalam mengubah secara radikal hidup seseorang? Sesuatu yang tak bakal mampu dilakukan oleh psikiater atau psikolog sejago apa pun? Ada orang-orang, saya akui dan banyak yang rame-rame pindah profesi menjadi pendeta atau penginjil, semata-mata karena alasan perut. Tapi saya juga mengenal orang-orang yang melakukan itu, dengan meninggalkan semua yang selama ini menjadi jaminan hidupnya, semata- mata demi panggilan imannya. Dan melayani umat dengan penuh ketulusan dan pengorbanan! Kemudian, apa yang membuat orang-orang semacam John Sung atau Martin Luther King, Jr., atau Ibu Teresa, bisa melihat apa yang tidak kita lihat, serta berani "menerobos" tembok-tembok mitos yang sebelumnya dipercaya sebagai tak mungkin terobohkan? Apa lagi, selain "iman" mereka? Persoalannya sekarang, selesaikah masalah kita dengan sekadar mengatakan bahwa kedua-duanya benar? Tentu saja tidak! Tapi ini akan menjadi "jatah" pembicaraan kita yang berikut.

Sumber: Sinar Harapan