Siapa Mengubah Siapa?
Penulis : Eka Darmaputera
Supaya saya tidak membuat Anda (bertambah) "sebal", saya akan mengakhiri seri pembahasan tentang "Orang-Orang Menyebalkan" sampai di sini. Tapi, saya menambahkan beberapa catatan akhir. Ingatkah Anda akan kata-kata Yesus, ketika Yudas Iskariot memprotes keras "pemborosan" yang dilakukan oleh seorang perempuan yang, astaga, menuangkan setengah kati minyak narwastu ke kaki Yesus? Kata- Nya, antara lain, "Biarkanlah dia ... Karena orang-orang miskin selalu ada pada kamu, tetapi Aku tidak ..." (Yohanes 12:7-8). "Orang-orang miskin selalu ada pada kamu". Begitu pula halnya dengan "orang-orang menyebalkan". Mereka selalu ada. Oleh sebab itu, persoalan kita bukanlah bagaimana melenyapkan mereka, atau menghindari mereka. Ini tak mungkin bisa. Persoalan kita adalah, bagaimana menghadapi, menyikapi dan menangani mereka.
Di sini, menurut Kirschner dan Brinkman, kita ternyata tidak cuma punya satu atau dua atau tiga pilihan tapi empat. Pilihan kita yang pertama adalah: kita memilih untuk tidak berbuat apa-apa. Kita anggap mereka sebagai "angin lalu". Kita bebas memilih sikap ini. Tapi hendaknya jangan karena menduga, bahwa dengan demikian kita lalu bebas dari "gangguan" mereka! Nonsens! Orang-orang ini adalah orang-orang yang tidak mudah putus asa. Sekali dua kali gagal, tidak akan membuat mereka jera mencoba. Maka sebagai hasilnya, kita saja yang akan menjadi "korban" mereka. Nota bene, korban tanpa perlawanan. Kita hanya akan menuai frustrasi. Dan stress.
Pilihan kedua adalah, kita tidak cuma diam dan pasif. Tapi aktif. Aktif, dalam arti pergi menghindar.sejauh mungkin. Kita tak mau berkonfrontasi. Sikap ini pun sah-sah saja. Tapi bisakah? Sayang sekali, tidak. Kita baru saja megatakan, "Orang-orang menyebalkan selalu ada pada kamu". Bagaimana mungkin menghindar terus-menerus? Namun begitu "walau tidak ideal" dalam keadaan-keadaan tertentu, alternatif kedua ini toh kadang-kadang "tepat" dan "bijak". Dalam keadaan seperti apa, misalnya? Misalnya, dalam keadaan ketika kita sudah berusaha sebaik-baiknya, bersikap searif mungkin, dan bersikap sesabar mungkin, tapi ternyata situasi malah kian memburuk. Orang yang kita hadapi justru semakin menyebalkan. Dan kita mulai merasa sulit mengendalikan diri. Dalam situasi seperti ini, terus berusaha melayani mereka sering hanya akan menghasilkan akibat yang lebih buruk. Karena itu pergi mengindar, walau tak menyelesaikan masalah, ia dapat mengindarkan kita dari yang lebih buruk itu. Eleanor Roosevelt pernah berkata, "Anda tak akan pernah menjadi korban siapa pun juga, tanpa Anda sendiri mengizinkannya". Dengan pergi menghindar, kita tidak memberi "izin" diri kita menjadi "korban". Baik menjadi korban provokasi orang lain, maupun korban emosi kita yang tak terkendali. TAPI sebelum kita benar-benar mengambil langkah menghindar, saya anjurkan kita mempertimbangkan dulu pilihan-pilihan lain yang tersedia.
Masih ada pilihan ketiga dan keempat. Alternatif ketiga adalah, setelah gagal mengubah sikap "mereka", dengan sadar "kita"-lah yang berusaha mengubah sikap kita. Maksud saya, mungkin mereka masih tetap menyebalkan. Namun demikian, kita tidak cepat-cepat "patah arang". Tapi berusaha melihat mereka dengan kaca-mata yang lain, mendengarkan mereka dari sudut-pandang yang lain, dan menanamkan kesan serta perasaan yang lain mengenai mereka. Bijak sekali, bukan, pilihan sikap ketiga ini? Dan ini pula, saya yakin, yang secara umum diharapkan oleh Tuhan menjadi sikap orang- orang Kristen dalam menghidupi iman mereka di tengah-tengah dunia ini. Yesus pernah berkata, "Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah- tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati" (Matius 10:16). Mengapa "cerdik" dan sekaligus "tulus"? Sebab tantangan iman yang luar biasa berat! Kita mesti "cerdik" agar tidak sekadar menjadi mangsa sia-sia para "serigala". Yesus tahu, bahwa walau telah mengerahkan seluruh daya kemampuan kita, tak mungkinlah mengubah "serigala" menjadi "domba". Sebab itu sudah "lumayan"-lah, bila pun kita tak mampu mengubah mereka, kita tidak diubah oleh mereka. "Domba" tidak berubah menjadi "serigala". Dengan perkataan lain, bila "kita" tidak mampu mengubah "dunia" ini menjadi sesuai dengan keinginan kita, maka paling sedikit jangan biarkan "dunia" ini mengubah "kita" menjadi sesuai dengan 2keinginan- nya.
DI SAMPING mengubah "sikap", pilihan yang keempat adalah: mengubah "tingkah-laku". Ini jauh lebih sulit, memang, tapi juga lebih efektif. Sebagai bahan bandingan, baiklah saya mengambil sebuah adegan filem laga yang pernah saya saksikan. Dua lawan "bebuyutan" sedang saling berhadapan. Kedua-duanya sama-sama tangguh. Dan kedua-duanya sedang mengambil ancang-ancang di atas sepeda motor mereka. Idenya adalah, mereka akan mengendarai sepeda motor mereka masing- masing sekencang-kencangnya ke arah lawan. Lalu persis pada saat mereka akan bertabrakan, pihak lawan akan merasa ngeri, berusaha menghindari, lepas kendali, lalu mati. Sedang yang paling tidak mereka inginkan adalah bila mereka saling bertubrukan. Sebab ini, tak ayal lagi, pasti fatal akibatnya bagi kedua-duanya. Demikianlah, di layar kita menyaksikan keduanya melaju bagai angin puyuh. Suara mesin motor mereka menderum-derum memekakkan telinga. Tak nampak tanda-tanda siapa yang mau mengalah. Keduanya seolah-olah siap mau menubruk yang lain. Sampai pada beberapa detuik terakhir. Si jahat menyangka bahwa lawan pasti tak bakalan begitu gila akan menabraknya. Tapi ia salah sangka. Lawannya, si jagoan, ternyata benar-benar mengarahkan sepeda motor ke arahnya! Gila benar! Si jahat panik menghadapi situasi yang tak pernah ia perkirakan itu. Pada saat terakhir, ia terpaksa membelokkan arah sepeda motornya dengan mendadak. Lepas kendali. Mati.
ORANG-ORANG menyebalkan yang Anda hadapi adalah orang-orang yang berdasarkan pengalaman nyata mereka, telah mempunyai perkiraan bagaimana Anda akan menyikapi atau bereaksi terhadap mereka. Dan berdasarkan perkiraan in2ilah, mereka pun menyiapkan sikap mereka terhadap Anda. Seperti dalam permainan catur. Masing-masing pemain mempersiapkan langkah mereka berdasarkan perhitungan atau antisipasi akan langkah lawan. Kalau saya gerakkan "kuda" saya, ia pasti akan menggeser "menteri"nya. Kalau ia menggeser "menteri"nya, saya akan melindungi "raja" saya dengan "benteng" saya. Dan ia akan menarik mundur "ratu"nya. Begitu seterusnya. Perkiraan-perkiraan mereka itu, karena telah teruji dalam kenyataan, biasanya benar. Ini membuat mereka yakin akan apa yang mereka lakukan terhadap Anda. Tapi yang ingin saya kemukakan di sini adalah, marilah kita bayangkan betapa kaget dan "panik"nya mereka, tatkala Anda tidak bertingkah-laku sesuai dengan "skenario" mereka! Berhadapan dengan situasi yang tidak mereka sangka-sangka ini maka, tak ada kemungkinan lain, mereka pun dengan grogi akan mengubah sikap dan tingkah laku mereka! Bukankah ini berarti kedudukan "1-0" untuk Anda? Dan apa hikmah serta pelajaran berharga dari sini? Ini: Anda berhasil mengubah orang lain, ketika Anda terlebih dahulu bersedia mengubah diri!
MENURUT keyakinan saya, ini adalah relevansi praktis yang lain dari Firman yang mengatakan, "Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!" (Roma 12:21). Menurut logika dunia ini, kejahatan hanya dapat dikalahkan oleh kekerasan. Sedang kebaikan adalah kelemahan. Sebab itu, menghadapi kejahatan dengan kebaikan? Sudah jelas, siapa kalah siapa menang! Dituntun oleh logika seperti ini, setiap pelaku kejahatan akan bersiap melindungi diri dengan bersiap menghadapi kekerasan. Mereka siap untuk melakukan kekerasan yang lebih besar lagi. Tapi alangkah terkejutnya, bila ternyata yang mereka hadapi kemudian bukanlah kekerasan tapi kebaikan! Mereka pasti panik. Lalu pada detik-detik terakhir, dengan amat terpaksa dan tiba-tiba, membelokkan arah "sepeda motor"nya. Logis? Saya tidak tahu. Tapi , yang jelas, ia efektif.
Sumber: Sinar Harapan