Perceraian dan Pernikahan Kembali

Oleh: Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th

Khotbah Ibadah Raya GBAP El Shaddai Palangka Raya
Minggu, 24 Maret 2013

“Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:4-6)

PENDAHULUAN

Ini adalah sesi ketiga khotbah saya dari seri bimbingan pernikahan dan pembinaan keluarga. Sebelumnya saya telah menyampaikan sesi: ESENSI PERNIKAHAN KRISTEN dan sesi: PERUBAHAN PENTING SETELAH PERNIKAHAN. Hari ini saya menyampaikan sesi: PERCERAIAN DAN PERNIKAHAN KEMBALI.



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA menuliskan, “Angka perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 persen. Dirjen Badilag MA, Wahyu Widiana, mengatakan tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya. Data jumlah perceraian tahun 2011 belum bisa dipastikan sebab masih menunggu proses rekapitulasi dari 33 pengadilan tinggi agama se-Indonesia. Meski begitu, pihaknya tidak menyangkal terjadi kenaikan perceraian di atas 10 persen dibanding angka tahun 2010. “Perceraian naiknya terus-terusan, begitu juga pada 2011,” ujar Wahyu kepada Republika, Selasa (24/1). Pada tahun 2010, terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia. Penyebab pisahnya pasangan jika diurutkan tiga besar paling banyak akibat faktor ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara. Sedangkan tahun sebelumnya, tingkat perceraian nasional masih di angka 216.286 perkara. Angka faktor penyebabnya terdiri atas ketidakharmonisan 72.274 perkara, tidak ada tanggungjawab 61.128 perkara, dan faktor ekonomi 43.309 perkara”.
 
Data perceraian di atas membuat kita prihatin dan bertanya, mengapa begitu banyak pasangan suami-isteri yang mengakhiri hubungan mereka dengan perceraian? Bagaimana masalah perceraian ditinjau dari perspektif iman Kristen?

PEMIKIRAN DASAR

Sebelum lebih jauh membahas perceraian dan pernikahan kembali menurut persepektif iman Kristen dan ajaran Alkitab, perlu diperhatikan tiga pemikiran mendasar mengenai perceraian sebagai berikut:

Pertama, perceraian bukanlah ideal Tuhan. Jelaslah bahwa Tuhan tidak merancang perceraian. Apapun pandangan mengenai perceraian, adalah penting untuk mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi 2:16a: “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.” Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6). Yesus mengatakan bahwa Allah mengizinkan perceraian tetapi tidak memerintahkan (Matius 19:8). Perceraian itu diijinkan bukan diperintahkan, hal ini terjadi karena “sklerokardia” atau “kekerasan hati” manusia (Matius 19:8; Markus 10:5). Dosa membuat hati manusia menjadi keras. Kekerasan hati manusia mengakibatkan manusia sulit mengampuni, menganggap diri benar, meremehkan firman Tuhan, menutup diri terhadap koreksi, menolak untuk berubah, menyebabkan hubungan suami istri rusak, dan keluarga berantakan, bahkan perceraian. Jadi perceraian adalah konsensi ilahi bukan konstitusi ilahi; merupakan kelonggaran bukan norma atau standar Allah. Dengan kata lain, perceraian bukanlah yang ideal atau yang terbaik bagi pernikahan.

Kedua, perceraian tidak diperbolehkan karena setiap alasan. Kristus menegaskan bahwa perceraian dapat terjadi hanya karena satu alasan yaitu “zinah” (Matius 19:9). Frasa “kecuali karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan izin untuk perceraian. Satu alasan ini perlu ditegaskan karena orang farisi datang kepada Yesus dengan pertanyaan “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” Frase Yunani “kata pasan aitian” sebuah frase yang lebih tepat bila diterjemahkan “untuk alasan apa saja” (Matius 19:3). Disini Kristus menegaskan bahwa seseorang tidak boleh bercerai berdasarkan alasan apa saja.

Ketiga, perceraian mengakibatkan masalah-masalah. Apabila rancangan Tuhan diabaikan oleh manusia, pastilah timbul masalah-masalah. Bagi orang-orang tertentu perceraiansepertinya adalah penyelesaian masalah, tetapi bagi orang lainnya adalah adalah masalah. Karena akan ada pihak yang terluka, tertekan, tersakiti dan dirugikan. Pasangan yang bercerai, anak-anak, pihak keluarga, serta masyarakat yang lebih luas bisa jadi terkena dampaknya. Lagu “Butiran Debu” yang dinyanyikan Rumor nampaknya mengekspresikan dengan tepat kebahagiaan cinta yang dirusak oleh pengkhiataan dan betapa dalam luka yang diakibatkannya. Ada harga mahal yang dibayar bagi sebuah pilihan untuk bercerai karena perceraian mengakibatkan luka yang tidak mudah untuk disembuhkan. Dan mungkin, bila luka tersebut disembuhkan tetap akan menyisakan goresan bekas luka tersebut.

PERNIKAHAN MENURUT PERSEPEKTIF ALKITAB

Menurut Alkitab, pernikahan merupakan suatu kovenan dan komiteman yang mengikat, bersifat permanen dan seumur hidup (Matius 19:5-6). Kovenan pernikahan ini dinyatakan dengan gamblang oleh nabi Maleakhi ketika ia menulis “TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu” (Maleakhi 2:14). Kitab Amsal juga berbicara tentang penikahan sebagai suatu “kovenan” atau “perjanjian” satu sama lain. Kitab ini mengutuk seorang yang berzinah “yang meninggalkan teman hidup masa mudanya dan melupakan perjanjian Allahnya” (Amsal 2:17).

Sebuah kovenan menurut Alkitab, adalah sebuah hubungan yang sakral antara dua pihak, disaksikan oleh Allah, sangat mengikat, dan tidak dapat dibatalkan. Kedua belah pihak bersedia berjanji untuk menjalani kehidupan sesuai dengan butir-butir perjanjian itu. Kata Ibrani yang digunakan untuk “kovenan” adalah “berit” dan kata Yunaninya adalah “diathêkê”. Istilah kovenan yang seperti inilah yang digunakan Alkitab untuk melukiskan sifat hubungan pernikahan.

Allah juga menghendaki bahwa pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. Dengan demikian, pernikahan itu bersifat permanen. Sifat permanennya suatu pernikahan dengan jelas dan tegas dikatakan Kristus, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6). Jadi Allah dari sejak semula menetapkan bahwa pernikahan sebagai ikatan yang permanen, yang berakhir hanya ketika salah satu pasangannya meninggal (bandingkan Roma 7:1-3; 1 Korintus 7:10-11). Paulus juga menegaskan hal ini ketika ia berkata “Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain” (Roma 7:2-3).

ALASAN DIIJINKANNYA PERCERAIAN

Pertanyaan penting untuk dipertimbangkan adalah “Apakah alasan diijinkannya perceraian?” Bukankan Kristus mengatakan bahwa “apa yang telah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia”? Bagaimanakah pandangan Alkitab mengenai alasan diijinkannya perceraian?

Pertama, kita hidup di dunia yang sudah jatuh dalam dosa dan kita lahir dengan sifat dasar yang berdosa. Konsekuensinya, banyak landasan yang tidak Alkitabiah bagi perceraian, bahkan di gereja. Seandainya tidak ada dosa di dunia, tentunya tidak akan ada perceraian. Perceraian adalah hasil dosa.

Kedua, fakta bahwa Allah “mengijinkan” perceraian dalam Perjanjian Lama tidaklah membuktikan bahwa Dia memerintahkannya (Ulangan 24:1-4). Perceraian itu diijinkan bukan diperintahkan (Matius 19:8). Artinya, perceraian adalah konsensi ilahi bukan konstitusi ilahi. Perceraian merupakan kelonggaran bukan norma atau standar Allah. Kehendak Tuhan untuk pernikahan tidak pernah diubah ataupun dibatalkan. Karena manusia tidak menaati kehendak Tuhan, maka hukum diperkenalkan dan hukum ini tidak membenarkan perceraian atau mengatakan bahwa perceraian kini sudah menjadi kehendak Tuhan, tetapi hukum ini mengaturnya.

Ketiga, Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa rekonsiliasi adalah pilihan pertama yang disodorkan Tuhan dan bukan perceraian (1 Korintus 7:12-14). Sebaiknya, selama memungkinkan maka perceraian dihindari dan mengusahakan rekonsiliasi bagi pernikahan. Dengan mengikuti contoh nabi Hosea, perlu untuk mengampuni dan menerima kembali pasangan yang telah berzinah (Hosea 3). Walaupun demikian, ada dua konsensi dalam Alkitab dimana perceraian diijinkan, tetapi tidak dianjurkan. Konsensi pertama adalah ketidaksetiaan dalam pernikahan (Matius 5:31-32; 19:9). Konsensi kedua ditemukan dalam kasus dimana orang yang tidak percaya meninggalkan pasangannya yang percaya kepada Yesus (1 Korintus 7:15-16).

Konsensi pertama, perceraian dapat terjadi karena alasan “perzinahan” (Matius 19:9). Frasa “kecuali karena zinah” adalah alasan pertama dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan ijin untuk perceraian. Satu alasan ini perlu ditegaskan karena orang farisi datang kepada Yesus dengan pertanyaan “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” (Matius 19:3). Banyak penafsir Alkitab yang memahami klausa “pengecualian” ini sebagai merujuk pada “perzinahan” yang terjadi pada masa “pertunangan”. Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun mereka masih “bertunangan”. Percabulan dalam masa “pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai. Disini, Matius menggunakan kata Yunani “porneia” atau “percabulan”, yang pada dasarnya berarti ketidaksetiaan secara seksual atau ketidaksetiaan sebelum pernikahan yang mencakup segala macam hubungan seksual yang bertentangan dengan hukum. Jika perzinahan yang dimaksud terjadi setelah pernikahan maka kata Yunani yang biasanya digunakan adalah “moikeia”. Kata “moikeia” adalah perzinahan atau seks haram yang melibatkan seseorang yang sudah menikah. Penting diketahui, hukuman bagi perzinahan setelah pernikahan dalam hukum Taurat Yahudi adalah hukuman mati, sebagaimana yang disebutkan dalam Imamat 20:10 “Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu” (Bandingkan Yohanes 8:5).

Konsensi kedua, perceraian diijinkan dalam kasus dimana orang yang tidak percaya meninggalkan pasangannya yang percaya kepada Yesus (1 Korintus 7:15-16). Ketika perceraian terjadi karena pasangan yang tidak percaya kepada Kristus meninggalkan pernikahan, pihak yang ditinggalkan atau yang tidak berdosa bebas untuk menikah lagi (1 Korintus 7:15). Tentu saja, dalam hal kematian pasangan, pasangan yang ditinggalkan bebas untuk menikah lagi. Kebiasan orang Yahudi dalam Perjanjian Lama menetapkan bahwa jika ada hak untuk bercerai, ada hak untuk menikah lagi. Pengajaran Paulus dalam Perjanjian Baru tidak bertentangan dengan keyakinan ini. Tetapi sekali lagi, sebagaimana Musa hanya mengijinkan bukan memerintahkan, Paulus juga menyatakan bahwa “Hal ini kukatakan kepadamu sebagai kelonggaran, bukan sebagai perintah” (1 Korintus 7:6). Walau demikian Apa yang yang diinstruksi Paulus dalam 1 Korintus 7:11-16 ini disampaikannya dengan penuh wibawa dan otoritas kerasulannya yang ditetapkannya sebagai peraturan bagi jemaat (baca 1 Korintus 7:17).

Gambaran perceraian karena perzinahan dapat kita lihat dalam hubungan Allah dengan Israel. Ketika Israel mengikuti berhala-berhala, Allah berfirman melalui nabi Yeremia, “oleh karena zinahnya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad itu, dan memberikan kepadanya surat cerai” (Yeremia 3:8). Yesaya juga menulis tentang Allah yang menceraikan Israel karena Israel tidak setia, “Beginilah firman TUHAN: "Di manakah gerangan surat cerai ibumu tanda Aku telah mengusir dia? Atau kepada siapakah di antara penagih hutang-Ku Aku pernah menjual engkau? Sesungguhnya, oleh karena kesalahanmu sendiri kamu terjual dan oleh karena pelanggaranmu sendiri ibumu diusir” (Yesaya 50:11). Betapa besar kasih Tuhan kepada Israel, Dia berulang kali menyodorkan rahmat dan kemurahanNya. Namun, perzinahan dan ketidaksetiaan Israel telah melewati ambang batas. Tuhan berfirman kepada Israel, “Kembalilah, hai Israel, perempuan murtad, demikianlah firman TUHAN. Muka-Ku tidak akan muram terhadap kamu, sebab Aku ini murah hati, demikianlah firman TUHAN, tidak akan murka untuk selama-lamanya. Hanya akuilah kesalahanmu, bahwa engkau telah mendurhaka terhadap TUHAN, Allahmu, telah melampiaskan cinta berahimu kepada orang-orang asing di bawah setiap pohon yang rimbun, dan tidak mendengarkan suara-Ku, demikianlah firman TUHAN." Kembalilah, hai anak-anak yang murtad, demikianlah firman TUHAN, karena Aku telah menjadi tuan atas kamu! Aku akan mengambil kamu, seorang dari setiap kota dan dua orang dari setiap keluarga, dan akan membawa kamu ke Sion” (Yeremia 3:12-14).

Kadang-kadang hal yang dilupakan dalam diskusi mengenai klausa “pengecualian” adalah kenyataan bahwa apapun jenis penyelewengan dalam pernikahan, itu hanyalah merupakan ijin untuk bercerai dan bukan keharusan untuk bercerai. Bahkan ketika terjadi perzinahan, dengan anugerah Tuhan, pasangan yang satu dapat mengampuni dan membangun kembali pernikahan mereka. Dengan mengikuti contoh nabi Hosea, perlu untuk mengampuni dan menerima kembali pasangan yang telah berzinah (Hosea 3). Tuhan telah terlebih dahulu mengampuni banyak dosa-dosa kita. Kita tentu dapat mengikuti teladanNya dan mengampuni dosa perzinahan (Efesus 4:32). Namun, dalam banyak kasus, pasangan yang bersalah tidak bertobat dan terus hidup dalam percabulan. Di sinilah kemungkinanan Matius 19:9 dapat diterapkan. Demikian pula banyak yang terlalu cepat menikah kembali setelah bercerai padahal Tuhan mungkin menghendaki mereka untuk tetap melajang. Kadang-kadang Tuhan memanggil orang untuk melajang supaya perhatian mereka tidak terbagi-bagi (1 Korintus 7:32-35).
 
MEMAHAMI MAKSUD DARI TEKS ULANGAN 24:1-4

Teks dalam Ulangan 24:1-4 penting untuk dipahami, sebab bagian inilah yang menjelaskan alasan dan prosedur perceraian. Teks itu berbunyi demikian, “Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu”. Berdasarkan teks ini ada beberapa hal yang perlu diperjelas, yaitu:

Pertama, yang wajib dalam hukum ini bukanlah perceraian melainkan proses hukumnya jika terpaksa harus bercerai. Proses hukum itu mencakup empat unsur, yaitu: (1) Adanya alasan yang serius untuk bercerai dan bukan sembarang alasan; (2) sebuah dokumen perceraian harus diberikan kepada perempuan untuk perlindungannya sesuah ia diceraikan; (3) dokumen itu ditulis dengan melibatkan seorang pejabat resmi yang memiliki hak untuk menentukan apakah alasan perceraian itu diterima atau tidak; (4) setelah memberikan dokumen cerai itu, pihak laki-laki secara resmi mengusir sang istri dari rumahnya.

Kedua, peraturan dalam teks ini diberikan bukan untuk menyetujui perceraian tetapi bertujuan untuk melarang laki-laki mengawini ulang mantan istrinya, kalau ia sudah pernah menceraikannya, dan mantan istrinya itu sudah pernah menikah dengan laki-laki lain setelah ia diceraikan. Perhatikanlah klausa “jika...” dalam ayat 1-3 tidak lebih dari sekedar anak kalimat yang disebut klausa syarat. Sedangkan klausa akibatnya baru muncul dalam ayat 4 dengan klausa “maka...”.

Ketiga, alasan perceraian ini adalah apabila didapat hal-hal yang tidak senonoh. Kata Ibrani “tidak senonoh” dalam ulangan 24:1, adalah “erwath dabar”, sebuah frase yang secara harafiah berarti “ketelanjangan suatu benda”. Kata ini dapat diartikan sebagai “keadaan telanjang atau pamer aurat yang dikaitkan dengan perilaku yang tidak suci”, tetapi bukan perzinahan setelah pernikahan. Karena hukuman bagi perzinahan setelah pernikahan dalam hukum Taurat adalah hukuman mati, sebagaimana yang disebutkan dalam Imamat 20:10 “Bila seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain, yakni berzinah dengan isteri sesamanya manusia, pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzinah itu”. (Bandingkan Yohanes 8:5).

Keempat surat perceraian ini wajib diberikan untuk melindungi hak-hak perempuan (istri), agar ia jangan diusir begitu saja atau diperlakukan seenaknya. Karena itu setiap penyalahgunaan ijin tersebut dicegah dengan cara membatasinya dengan berbagai alasan teknis dan pembatsan lainnya. Tampaknya ada kesalahpahaman diantara pria Yahudi dalam menafsirkan tujuan dari ijin perceraian dengan memberikan surat cerai tersebut. Jadi, pengaturan dalam ayat ini justru digunakan oleh para lelaki untuk mengajukan perceraian terhadap istri mereka. Suatu interpretasi yang keliru, sehingga tepat jika Yesus menuding keras dengan mengatakannya “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Matius 19:8).

Dengan demikian, perceraian sebagaimana diijinkan Musa dalam ulangan 24:1-4 (bandingkan Imamat 27:7-14; 22:13; Bilangan 30:9) adalah akibat dari kekerasan hati orang Israel (Matius 19:8; Markus 10:5). Tetapi, ketidaknormalan situasi ini yang ditolerir dalam Perjanjian Lama melalui hukum Musa dibatalkan oleh Tuhan Yesus kita dengan menempatkan kembali ideal Allah, yaitu ketetapanNya semula mengenai pernikahan, “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:5-6; dan Markus 10:6-9; Kejadian 2:23-24).

MENIKAH LAGI SETELAH PERCERAIAN

Tuhan menciptakan pernikahan! Jadi, ketika dua orang disatukan, baik orang Kristen atau bukan, penyatuan ini terjadi dihadapan Tuhan. Ketika orang non Kristen menikah kemudian bercerai, mereka melanggar firman Tuhan seperti pelanggaran yang dilakukan orang Kristen. Mengapa? Karena pernikahan adalah satu-satunya lembaga sosial yang ditetapkan Allah sebelum kejatuhan manusia dalam dosa (Kejadian 2:24; Banding Kejadian 1:28). Ketetapan Tuhan ini tidak pernah berubah dan ini berlaku “sejak semula” bagi semua orang, bukan hanya bagi orang-orang Kristen saja. Matius mencatat perkataan Kristus demikian, “Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula (ap’arches) menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?” (Matius 19:4). Kata Yunani “ap’arches” atau “sejak semula” yang disebutkan Yesus dalam Matius 19:4, pastilah merujuk pada Kejadian Pasal 2, karena kalimat selanjutnya “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging”, yang diucapkan Yesus dalam ayat 5 adalah kutipan dari Kejadian 2:24.

Allah telah menetapkan pernikahan dari sejak semula, baik untuk orang-orang Kristen maupun untuk orang-orang bukan Kristen. Dan Allah adalah saksi dari seluruh pernikahan, baik diundang maupun tidak. Meskipun bentuk dan tatacara bervariasi dalam setiap budaya dan setiap generasi tetapi esensinya tetap sama dari “sejak semula” bahwa pernikahan merupakan satu peristiwa sakral tidak peduli pasangan tersebut mengakuinya ataupun tidak. Karena itu pernikahan wajib dihormati oleh semua orang (Ibrani 13:4).

Jika orang non Kristen bercerai kemudian menikah lagi dalam kondisi sudah menjadi Kristen, ia masih bertanggung jawab atas segala konsekuensi pernikahan pertamanya. Menurut 2 Korintus 5:17, Kita tidak boleh lagi hidup dalam penghukuman atas dosa (hidup) kita terdahulu, tetapi ayat ini, yang sering dikutip oleh orang yang bercerai, sama sekali tidak memberikan orang yang bersangkutan izin untuk menikah lagi. Makna yang dikandung disini adalah bahwa ketika orang yang sudah melakukan perceraian menjadi manusia baru melalui iman yang dimilikinya, ia tetap bertanggung jawa atas kehidupan dosanya “yang terdahulu” walaupun ia sudah diampuni.

Kapan menikah lagi diijinkan setelah perceraian? Pertama, sederhananya, ketika ada perceraian yang tidak Alkitabiah, menikah lagi dilarang. Konsekuensinya, berdasarkan pemahaman terhadap firman Tuhan jika ada pihak yang melakukan perzinahan dan pernikahan berakhir dengan perceraian, pelaku perzinahan, sebagai pihak yang berdosa, harus memilih untuk tetap melajang (lihat Matius 5:31-32), sebab jika tidak, ia hidup dalam dosa. Penting untuk diperhatikan bahwa hanya pasangan yang tidak bersalah yang diizinkan untuk menikah kembali. Meskipun tidak disebutkan dalam ayat tersebut, izin untuk menikah kembali setelah perceraian adalah kemurahan Tuhan kepada pasangan yang tidak bersalah, bukan kepada pasangan yang berbuat zinah. Paulus menegaskan hal ini dalam 1 Korintus 7:10-11, dimana Paulus mengutip ajaran Yesus. Jika orang memilih untuk meninggalkan pernikahan tanpa landasan Alkitabiah untuk bercerai, dan hal itu bertentangan dengan keinginan pasangannya, ia sedang memilih untuk melajang.

Kedua, pernikahan kembali juga diijinkan ketika perceraian terjadi karena pasangan yang tidak percaya kepada Kristus meninggalkan pernikahan, pihak yang ditinggalkan atau yang tidak berdosa bebas untuk menikah lagi. Paulus dalam 1 Korintus 7:15 mengatakan, “Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera”. Memang konteks ayat ini tidak menyinggung soal pernikahan kembali dan hanya mengatakan bahwa orang percaya tidak terikat dalam pernikahan kalau pasangan yang belum percaya mau bercerai, tetapi kebiasaan orang Yahudi dalam Perjanjian Lama menetapkan bahwa jika ada hak untuk bercerai, ada hak untuk menikah lagi. Pengajaran Paulus dalam Perjanjian Baru tidak bertentangan dengan keyakinan ini.

Ketiga, tentu saja, dalam hal kematian pasangan, pasangan yang ditinggalkan bebas untuk menikah lagi. Paulus mengatakan, “Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain” (Roma 7:2-3). Hal yang sama disampaikan Paulus kepada jemaat di Korintus, “Isteri terikat selama suaminya hidup. Kalau suaminya telah meninggal, ia bebas untuk kawin dengan siapa saja yang dikehendakinya, asal orang itu adalah seorang yang percaya” (1 Korintus 7:39)

Menikah kembali setelah bercerai mungkin merupakan pilihan dalam keadaan-keadaan tertentu, namun tidak selalu merupakan satu-satunya pilihan. Adalah menyedihkan bahwa tingkat perceraian di kalangan orang-orang yang mengaku Kristen hampir sama tingginya dengan orang-orang yang tidak percaya. Alkitab sangat jelas bahwa Allah membenci perceraian (Maleakhi 2:16) dan bahwa pengampunan dan rekonsiliasi seharusnya menjadi tanda-tanda kehidupan orang percaya (Lukas 11:4; Efesus 4:32).

PENUTUP

Perceraian dalam ideal Allah tidak pernah dibenarkan, bahkan sekalipun oleh karena perzinahan. Perzinahan adalah dosa dan Allah tidak menyetujui dosa maupun terputusnya pernikahan. Apa yang disatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia (matius 19:6). Pengampunan melalui pengakuan dosa membatalkan status keadaan yang berdosa dari orang yang diceraikan (Bandingkan Yeremia 1,14). Satu-satunya alasan mereka masih hidup dalam dosa setelah perceraian adalah bahwa perceraian itu merupakan suatu dosa. Dan selama mereka tidak mengakui dosa perceraian, mereka masih hidup dalam dosa. Tetapi jika mereka mengakui dosa mereka, Allah akan mengampuni seperti dosa yang lainnya (1 Yohenes 1:9).

Sekalipun perceraian tidak pernah dibenarkan, kadang-kadang hal itu diijinkan dan selalu ada pengampunan untuk itu. Karena itu, mereka yang mengakui dosa perceraian dan bertanggung jawab untuk itu, harus diperbolehkan untuk menikah kembali. Tetapi pernikahan kembali mereka lakukan haruslah untuk seumur hidup. Jika mereka gagal lagi, tidaklah bijaksana memperbolehkan mereka untuk terus mengulangi kesalahan ini. Hanya mereka yang condong untuk memelihara komitmen seumur hidup yang boleh menikah dan tidak merencanakan pernikahan kembali.

Pernikahan adalah lembaga yang sakral dan tidak boleh dicemarkan oleh perceraian, kususnya oleh perceraian yang terjadi berulang kali (bandingkan Ibrani 13:4). Dan orang Kristen harus melakukan segala sesuatu dengan sekuat tenaga untuk mengangungkan standar Allah mengenai pernikahan monogami seumur hidup, karena ini adalah idealnya Allah (Matius 19:5-6).

Akhirnya, orang percaya yang bercerai dan atau menikah kembali jangan merasa kurang dikasihi oleh Tuhan bahkan sekalipun perceraian dan pernikahan kembali tidak tercakup dalam kemungkinan klausa pengecualian dari Matius 19:9. Tuhan sering kali menggunakan bahwa ketidaktaatan orang-orang Kristen untuk mencapai hal-hal yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Burke, Dale., 2000. Dua Perbedaan dalam Satu Tujuan. Terjemahan Indonesia (2007), Penerbit Metanoia Publising : Jakarta.
Clinton, Tim., 2010. Sex and Relationship. Baker Book, Grand Rapids. Terjemahan Indonesia (2012), Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Douglas, J.D., ed, 1988. The New Bible Dictionary. Universities and Colleges Christian Fellowship, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, 2 Jilid, diterjemahkan (1993), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Drewes, B.F, Wilfrid Haubech & Heinrich Vin Siebenthal., 2008. Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Jilid 1 & 2. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.
Ferguson, B. Sinclair, David F. Wright, J.I. Packer., 1988. New Dictionary Of Theology. Inter-Varsity Press, Leicester. Edisi Indonesia, jilid 1, diterjemahkan (2008), Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Geisler, Norman L., 2000. Christian Ethics: Options and Issues. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kristen: Pilihan dan Isu, Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Jakarta.
Gutrie, Donald., ed, 1976. The New Bible Commentary. Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Masa Kini, Jilid 3, diterjemahkan (1981), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Gutrie, Donald., 1981 New Tastament Theology, . Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Teologi Perjanjian Baru, 3 Jilid, diterjemahkan (1991), BPK Gunung Mulia : Jakarta.
Ladd, George Eldon., 1974. A Theology of the New Tastament, Grand Rapids. Edisi Indonesia dengan Judul Teologi Perjanjian Baru. 2 Jilid, diterjemahkan (1999), Penerbit Kalam Hidup : Bandung.
Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung
Morris, Leon., 2006. New Testamant Theology. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Newman, Barclay M., 1993. Kamus Yunani – Indonesia Untuk Perjanjian Baru, terjemahkan, BPK Gunung Mulia : Jakarta.
Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Wycliffe Perjanjian Baru, volume 3, diterjemahkan (2004), Penerbit Gandum Mas : Malang.
Piper, John & Justin Taylor, ed., 2005. Kingdom Sex and the Supremacy of Christ. Edisi Indonesia dengan judul Seks dan Supremasi Kristus, Terjemahan (2011), Penerbit Momentum : Jakarta.
Prokopchak, Stave and Mary., 2009. Called Together. Destiny image, USA,. Terjemahan Indonesia (2011), Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Schafer, Ruth., 2004. Belajar Bahasa Yunani Koine: Panduan Memahami dan Menerjemahkan Teks Perjanjian Baru. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.
Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. diterjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Stassen, Glen & David Gushee., 2003. Kingdom Ethics: Following Jesus in Contemporary Contex. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini, Terjemahan (2008), Penerbit Momentum : Jakarta.
Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terj, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Stott, John., 1984. Issues Facing Chistianis Today. Edisi Indonesia dengan judul Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani. Terjemahan (1996), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.
Susanto, Hasan., 2003.Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid 1 dan 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Tong. Stephen., 1991. Keluarga Bahagia. Cetakan kesebelas (2010), Penerbit Momentum : Jakarta.

Penulis, seorang Protestan-Kharismatik, Pendeta dan Gembala di GBAP Jemaat El Shaddai; Pengajar di STT IKAT dan STT Lainnya. Menyandang gelar Sarjana Ekonomi (SE) dari Universitas Palangka Raya; S.Th in Christian Education; M.Th in Christian Leadership (2007) dan M.Th in Systematic Theology (2009) dari STT-ITC Trinity.
Setelah mempelajari Alkitab selama ± 15 tahun menyimpulkan tiga keyakinannya terhadap Alkitab yaitu: 1) Alkitab berasal dari Allah. Ini mengkonfirmasikan kembali bahwa Alkitab adalah wahyu Allah yang tanpa kesalahan dan Alkitab diinspirasikan Allah; 2) Alkitab dapat dimengerti dan dapat dipahami oleh pikiran manusia dengan cara yang rasional melalui iluminasi Roh Kudus; dan 3) Alkitab dapat dijelaskan dengan cara yang teratur dan sistematis.